33

2.7K 362 23
                                    

***I'm so sorry for very very late updating...semoga bisa dimaklumi ya...

***Warning: typo


Ava Argani

25 Mei 1993

Papa membatalkan janji, Nak. Katanya kakakmu masuk Rumah Sakit. Kamu harus sabar ya. Kak Tania juga butuh Papa.

3 Juni 1993

Kamu kangen Papa, Nak? Mama juga. Sudah seminggu Papa nggak nengok kita. Papa juga belum telepon. Sabar ya, Nak. Mungkin Kak Tania masih membutuhkan Papa.

5 Juni 1993

Aku merindukannya. Kami merindukannya. Ava semalaman menangis terus. Dan aku rasanya mau gila dengan himpitan rasa marah dan cemburu ini. Sekali lagi kamu mengatakan kamu nggak bisa pulang karena kemarin ulang tahun Aldo. Ya, aku nggak punya hak merampas kebahagiaan anak-anakmu. Maafkan aku, tapi aku hanya manusia biasa...

Langit berubah mendung saat aku melangkahkan kaki keluar dari pavilun Mama diikuti Kak Tania, alam seperti sedang ikut merasakan suasana hatiku. Berada di depan Tania dan menatap kembali matanya dengan berjuta pertanyaan tergambar di sana membuatku tiba-tiba dilingkupi rasa sedih. Aku merassa seperti seorang pengkhianat. Aku terus menyembunyikan sesuatu dari Tania. Pertama tentang Erick dan sekarang tentang keluargaku. Dari raut wajah Tania yang sudah kukenal bertahun-tahun, aku tahu dia seperti tidak siap dengan berita ini. Bahwa aku memiliki keluarga lain selain keluarganya.

Ia mendahului langkahku dan berhenti tiba-tiba di depanku. Namun, ia terdiam.

"Aku tidak sengaja bertemu kembali dengan mereka." Aku memulai pembicaraan dan berharap Tania memutar tubuhnya ke arahku. "Aku nggak mencari mereka. Mereka yang mencariku." Lanjutku lagi dan berhasil membuatnya memutar tubuhnya dan memandangku.

"Lo bahagia?" tanyanya dengan nada yang datar namun matanya syarat kesan yang tidak bisa kuartikan.

"Ya." Jawabku samar. Aku menelan ludahku dan memandang Tania dengan tatapan yang lebih hati-hati.

"Lo pantas bahagia." Dia sedikit menunduk kemudian menghela napas dalam-dalam. "Gue hampir nggak pernah memposisikan diri gue di posisi lo. Sekarang gue baru sadar bahwa nggak mudah menjadi lo." Aku menangkap kedua matanya berkaca-kaca.

"Tapi yang lo harus tahu, Va. Gue nggak pernah sedikitpun mengharapkan kalo lo bukan adek gue. Sejak hari pertama Papa membawa lo ke rumah, gue udah merasa kita punya koneksi. Ada sesuatu yang membuat gue nggak bisa marah sama lo seperti bang Aldo. Sesuatu yang lo punya yang gue sendiri nggak tahu apa itu. Gue seperti terikat sama lo. Nggak bisa diabaikan kalau kita sedarah walau kita bukan dari rahim yang sama."

Aku tergugu mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Tania. Batang tenggorokanku terasa sesak. Aku perlu meneguk ludah berkali-kali karena aku merasa seperti tidak bisa berkata-kata lagi.

"Ini hari tersedih buat gue. Tapi gue juga lega karena gue nggak sendiri. Ada lo di sini." Dia menyeka matanya yang basah. Aku sendiri dengan sekuat tenaga mencegah air yang mulai menitik di setiap sudut mataku meski tak berhasil.

"Gue nggak mau kehilangan adek gue." Dia mendekatiku dan menarikku dalam pelukannya. Kami sama-sama terisak. "Dan mengenai Erick." Ia menarik sedikit tubuhnya dan memandangku lekat. "Sejak kapan lo punya selera cowok yang sama kayak gue?" dia menyipitkan matanya. Meski kata-katanya terkesan bercanda namun aku tahu ada perih di sana.

"Um....." aku mencoba lari dari pandangannya.

"Udah lupain." Dia mangayunkan sebelah tangannya di hadapanku dengan ekspresi candanya.

SAUDADE (Fly Me High) -  BACA LENGKAP DI STORIAL.COWhere stories live. Discover now