3

4.1K 393 7
                                    

***Warning Typo

***Jangan lupa voment ya....thank u

Ava Argani

Hatiku berdebar tak karuan saat baru saja membaca pesan Whatsapp Kak Tania. Dia baru saja mengabarkan kalau Mama masuk RS. Aku sudah mencoba beberapa kali menelepon Kak Tania namun ia tidak menjawabnya. Mama memang punya riwayat darah tinggi dan jantung, dan sudah beberapa kali Mama collapse karena dua penyakit itu. Hal yang memicu tentu saja kalau Mama sedang merasa marah dan tertekan. Aku dan Kak Tania selalu menjadi pemicu sakit Mama, karena itu setelah Mama dulu masuk RS karena sikap berontakku untuk pertama kali kulakukan saat kelas 5 SD, aku mulai berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan pernah melakukannya lagi. Tentu saja ada sesuatu yang besar yang lebih mempengaruhi perubahan sikapku. Aku akan menceritakannya nanti. Aku kemudian menjadi anak yang patuh meski dibawah sinar mata kebencian Mama. Aku sebisa mungkin membuat Mama tidak marah dan tertekan. Aku menyabarkan diriku hingga aku lulus SMA dan memilih untuk ngekost dan tinggal jauh dari pandangan Mama.

Melalui lorong-lorong yang menanjak di RS umum daerah ini sudah menjadi rutinitasku dan tidak lagi membuat aku terengah-engah seperti hari-hari pertama kedatanganku sebagai dokter magang. Dari kejauhan, tepatnya dari bangsal anak, Santi, sesama teman dokter magang, melambai ke arahku.

"Mau makan siang dimana?" aku mengernyit mendengar pertanyaan Santi seolah-olah kita punya pilihan untuk makan siang selama ini. Bisa dibilang para dokter magang yang berjumlah 4 orang di RSUD ini hanya punya satu tempat makan andalan yang memang jaraknya tidak terlalu jauh di RS. Aku sendiri lebih memilih pulang ke rumah karena Mama Bunga selalu menyiapkan jatah makan siang untukku, hanya sesekali aku ikut bersama teman-temanku untuk makan di luar.

Aku mulai mengerti dengan pertanyaan Santi ketika aku melihat bayangan dokter Rama berjalan ke arah kami.

"Ada tempat makan cukup enak di Jalan Kelimutu. Teman saya yang bilang, sih. Citra?" Dokter Rama ikut menimpali percakapan kami, entah bagaimana ia bisa mendengar apa yang baru saja kami obrolkan atau mungkin karena Santi sudah terlebih dahulu menawarkan makan siang bersama dengan dokter Rama sebelumnya.

"Oh iya dok...aku tahu tempatnya. Emang disana cukup enak." Santi tersenyum sumringah.

"Kamu mau ikut?" dokter Rama memandangku. Aku hanya menggeleng.

"Ayo ikut aja, Va. Nih kita lagi nunggu Dian sama Vandi." Santi menyebut dua teman dokter magang kami.

"Aku nggak bisa." Aku bisa menangkap senyum kecil dokter Rama, dan aku menilai senyum itu lebih kepada senyum sinis. Entahlah, aku merasa seperti itu. Memang aku akui sudah beberapa kali aku melewatkan kesempatan untuk ada bersama dokter Rama di suatu tempat. Misalnya saat aku diminta bantuan untuk mendampinginya melakukan visit ke bangsal anak untuk mengecek pasien, atau membantunya di poliklinik, aku selalu punya alasan untuk menolaknya. Bukan suatu kesengajaaan, karena aku sama sekali tidak punya niat untuk menghindar darinya, karena demi Tuhan aku tak punya alasan untuk itu.

"Saya pikir kita berempat saja sudah cukup." Dokter Rama menyimpulkan dan membuat aku semakin yakin kalau laki-laki itu mendapat kesan yang salah dari sikapku selama ini. Baiklah, aku tidak terlalu peduli. Sekarang yang aku pedulikan adalah menemui dokter Steven, dokter pembimbingku untuk meminta ijin pulang ke Jakarta. Semoga dokter Steven memberi ijin mengingat jatah cuti untuk kami para magang hanya 3 hari dalam setahun dan selama sembilan bulan ini aku sama sekali belum pernah menggunakannya, dan aku nggak mungkin hanya pulang selama tiga hari, setidaknya aku butuh seminggu.

Dan beberapa menit kemudian Santi sudah berlalu bersama dokter Rama. Aku hanya bisa membuang napas pelan dan menuju ruang dokter Steven. Meski Tania belum mengabarkan seberapa parah situasi Mama, aku rasa aku perlu pulang. Aku sudah satu setengah tahun tidak bertemu Mama, dan itu waktu yang cukup lama.

SAUDADE (Fly Me High) -  BACA LENGKAP DI STORIAL.COWhere stories live. Discover now