Autopsi

6.6K 238 0
                                    

Suasana menjadi canggung setelah kesalahpahaman antara saya dan Arqie.

Untungnya Yuan langsung mengalihkan topik pembicaraan
"Lo ga minta nomor hp nya shana, ar? Lumayan kan kalo lo sakit, bisa konsul nanya-nanya obat yang pas buat sakit lo"

Arqie tertawa sinis menepis tangannya
"Kalo di tempat gue dinas sih yang lebih dicari itu bidan, bro. Dokter mah ga begitu laku, soalnya ada bidan yang selalu siap 24 jam melayani dengan tulus tanpa memikirkan biaya terutama di pelosok-pelosok desa. Kalo dokter kan mana ada yang mau masuk ke desa-desa. Kalopun ada, mereka biasanya ga mau melayani 24 jam. Pun kalo mau, bayarannya pasti akan mahal sekali. Sepertiny tidak ada rasa pengabdian sama sekali bagi dokter-dokter ini untuk Indonesia. Beda dengan bidan yang siap ditempatkan di seluruh pedalaman Indonesia. Lagian tarif konsultasi sama dokter itu mahal, mereka baru mau ngobatin orang kalo orang itu punya uang untuk bayar, orang ga mampu kayak gue ga bakal mereka layani. Lagian gue ga kuat untuk bayar tarif konsultasi sama dokter, mahalnya minta amp.. Arrgghhh..." kata-kata Arqie terputus dan terganti dengan ringisan sambil mengusap tulang keringnya.

Yuan mendelikkan matanya ke arah Arqie
"Ngomong apaan sih lo ar?! Maaf ya dek. Si Arqie nih suka kehabisan obat. Sering kumat begini" ujar Yuan sambil menatap saya penuh permohonan maaf. Saya yakin kali ini Yuan juga yang menendang tulang kering Arqie

But it's too late. Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut pemuda di sebelah saya itu, wajah saya sudah terlanjur memerah. Jika tadi wajah saya memerah karena malu, kali ini wajah saya menjadi merah karena marah.

Saya yang sedari tadi membelakangi pemuda itu, kali ini langsung menatap matanya tajam dengan geraham yang mengetat dan berkata kepadanya
"With all do respect sir, mas, bang, pak, tuan Arqie yang terhormat. Atas dasar apa anda bicara demikian? Apakah anda sudah bertanya ke bagian Kementerian Kesehatan, ada berapa banyak dokter yang mengabdi di pedalaman papua sana? Dan sudah kah anda bertanya, berapa mereka di bayar oleh pemerintah? Bahkan gaji mereka sering dirapel selama 3 bulan, 6 bulan, bahkan ada yang mencapai 1 tahun. Kata siapa kami tidak bersedia mengabdi? Kami ada di seluruh Indonesia. Hanya saja jumlah kami terbatas sehingga tidak mungkin untuk di buat program 1 desa 1 dokter layaknya bidan desa. Tidak setiap Provinsi memiliki Fakultas Kedokteran. NTT, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, belum lagi Papua. Mereka tidak menghasilkan lulusan dokter umum. Dan jumlah yang diterima untuk Pendidikan dokter umum pun terbatas. Angkatan saya sendiri misalnya, hanya 120 orang yang diterima. Bahkan di satu kecamatan saja belum tentu memiliki satu dokter. Bukan karena tidak ada dokter yang 'bersedia', tapi memang jumlah kami sangat terbatas. Dan soal tarif, waahh, semoga kalimat anda ini tidak terdengar oleh senior-senior saya yang sedang bertugas di pedalaman sana ya, atau mereka bisa marah besar. Mereka bahkan kadang dibayar dengan Jagung 3 buah, beras 1 kg, pisang setandan. And let me tell you something, di daerah Sumatera utara sana, ada seorang dokter yang tidak bersedia dibayar. Jika pun ada yang ingin membayar, dipersilahkan memasukkan uang di kotak amal di depan ruangannya dan beliau juga yang menginspirasi saya untuk menjadi dokter. Dengan Ilmunya, beliau bisa menolong orang kecil, dan saya ingin sekali menjadi seperti beliau. And you still said that 'doctors are money oriented?'. Shame on you! For your information, banyak senior2 saya yang harus meninggal di daerah terpencil sana karena terkena penyakit endemik yang mematikan hanya untuk mengabdi demi Indonesia. Pernah dengar berita tentang mereka? Pasti tidak pernah! Kenapa? Karena berita ini tidak menarik untuk dijual. Tidak komersil! Sehingga para wartawan pun malas untuk memberitakannya.

Ternyata pengetahuan anda tidak sebagus bahasa Inggris anda, Pak Arqie yang terhormat. Anda ingin setiap dokter tidak dibayar, huh? Lantas keluarga mereka makan apa? Seorang Bidan mungkin masih bisa menggantungkan hidup pada suaminya yang menjadi tulang punggung keluarganya. Tapi bagaimana dengan dokter laki-laki? Kemana dia harus menggantungkan hidup jika tidak dibayar? Dia sendiri adalah tulang punggung yang juga harus menafkahi keluarganya. Mereka juga punya anak istri yang harus diberi makan. Tidak setiap dokter digaji oleh negara. Kami bahkan sekolah dengan biaya kami sendiri dan jumlah yang harus dikeluarkan oleh orang tua kami pun tidak sedikit. Tapi tidak sedikit pun terlintas di benak kami untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya untuk mengganti biaya kuliah kami. Bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari saja sudah bersyukur. Tapi ada orang-orang macam anda yang berpikir kami tidak sepantasnya meminta bayaran. Pemahaman anda rupanya juga jauh dari kata bijak.

ShanarqieWhere stories live. Discover now