The less I Love you

4K 155 0
                                    

Baru saja saya menyandarkan punggung di sandaran kursi, kakak residen saya tiba-tiba masuk.

'Fiuuhh. Untung si Arqie udah balik' bisik saya lega.

"Ehh, Shana. Abang boleh minta tolong ga? Tolong ambilin status pasien yang ada di kamar chief bisa?" Pinta kakak residen senior itu dengan halus.

Saya langsung bangkit dari tempat duduk dan mengangguk semangat,
"Siap kak."

Dia tertawa melihat sikap saya yang begitu bersemangat. Padahal biasanya saya enggan sekali untuk ke kamar chief residen yang ada di bangsal pasien tengah malam begini. Lorong rumah sakit sangat sepi dan terasa sangat mencekam. Belum lagi cerita-cerita horor yang beredar, membuat siapapun yg berjalan di selasar rumah sakit tua ini bergidik ngeri.

Tapi tidak malam ini, demi menghilangkan semua pikiran tentang Arqie dan Diqie, saya bersedia membangkitkan adrenalin saya melewati selasar itu. Lebih baik benak saya dipenuhi oleh bayangan tentang hantu daripada bayangan tentang Arqie dan Diqie.

Saya berjalan sambil bernyanyi kecil untuk menghilangkan rasa sepi di sepanjang lorong. Bulu kuduk saya mulai meremang melalui jalan gelap dan tidak ada orang.

Telapak tangan kanan saya tiba-tiba di genggam oleh seseorang dari belakang. Saya sontak membelalakkan mata, refleks mengeluarkan jurus Taekwondo. Saya memelintir badan sy kearah belakang, melepaskan tangan kanan saya dari genggamannya, menginjak kaki orang tersebut dan mengarah kan tinju ke ulu hatinya.

Tepat sebelum tinju tangan kanan saya mengenai kuadran tengah atas perutnya, tinju di tangan kanan saya ditahan oleh tangan orang tersebut dan kembali menggenggam tangan kanan saya yang masih bulat mengepal.

"Shana.. tenang! It's me. Diqie." ujar orang tersebut.

"Hah?! Pak Diqie?" Ujar saya sambil mendekati wajahnya untuk melihatnya lebih jelas. Benar saja. Wajah tampan kearab-araban seperti itu hanya dimiliki oleh Diqie. Khas sekali. Dia tidak memiliki darah arab, tapi wajahnya seperti orang arab. Jadilah wajah khas Indonesia - Arab.

Untuk sesaat saya lega bahwa yang saya lihat adalah wajah laki-laki tampan, bukan wajah Genderuwo ataupun Jin Ifrit. Lalu kemudian saya tersadar, saya sudah memelintir tangannya, menginjak kakinya dan hampir meninju perutnya.

"Pak Diqie gapapa? Kakinya gimana? Tangannya sakit pak? Perutnya ga kena kan? Haduhh.. Maaf banget ya pak. Saya beneran ga tau kalo itu bapak." ucap saya khawatir.

Diqie kemudian tertawa,
"That's okay. I'm fine. Dengan taekwondo kamu yang sejago ini, rasanya ga ada yang perlu saya khawatirkan saat kamu sendirian, hahaha. Yahh, walaupun injakkan kamu tidak terlalu terasa di kaki saya karena saya sering merasakan yang lebih sakit dari ini, tapi kamu bisa memelintir tangan saya yang isinya mostly otot semua begini saja sudah sangat luar biasa. Andai saya tidak menguasai bela diri Polri, tinju kamu akan telak mendarat di perut saya. Kamu sabuk apa sih? Sepertinya kamu berlatih dengan sangat baik." Tanyanya sambil menghentak-hentakkan tangan kanan nya yang saya pelintir. Saya hanya tersenyum meringis.

Tiba-tiba saya teringat kejadian siang tadi. Ekspresi saya yang tadinya khawatir pun berubah menjadi dingin,
"Ohh.. ehmm.. itu.. sekali lagi saya minta maaf dengan apa yang saya lakukan barusan, tapi siapa suruh menyerang saya di tengah malam dan di tengah kegelapan seperti ini. Anyway, kalo ada yang dirasa tidak nyaman, silahkan berobat ke UGD, anda tau posisinya bukan? Nanti semua biaya akan saya tanggung. Saya permisi dulu. Saya buru-buru." ucap saya datar sambil membungkukkan badan berpamitan sekaligus meminta maaf.

Saya lalu membalikkan badan dan berjalan cepat.

"Shana, tunggu." panggil Diqie. Saya mengabaikannya dan terus saja berjalan cepat. Tidak sulit bagi Diqie untuk menyejajarkan langkahnya dengan saya. Kakinya yang panjang membuat langkahnya lebar. Sementara kaki saya pendek, ditambah rok panjang yang saya gunakan membuat kaki saya hanya dapat melangkah kecil.

ShanarqieWhere stories live. Discover now