Hitam Putih

3.7K 181 1
                                    

Saya baru saja selesai menyuapkan sendok makan siang terakhir ke dalam mulut ketika ponsel di tas saya berbunyi. Sambil terus mengunyah saya merogoh-rogoh tas dan mengeluarkannya. Saya melihat nama yang tertulis di layar ponsel

"Tante Dinda"

Saya sudah bisa menebak apa yang akan dia katakan jika tengah siang hari begini dia menelpon. Saya menelan makanan saya dan menyeruput es teh manis beberapa teguk sebelum saya mengangkat telpon.

"Assalamualaikum tante."

"Wa'alaikum salam sayang. Lagi sibuk ga? Tante ganggu ga?"

"Engga tante. Baru selesai makan siang. Ada yang bisa shana bantu tante?" Tanya saya.

"Kamu pulang jam berapa hari ini nak? Kalo ga sibuk, kamu main ke rumah tante ya. Ada oleh-oleh buat kamu. Om baru pulang dari Sydney nih. Tante takut kalo kelamaan, ntar keburu diambil keponakan tante." persis seperti dugaan saya.

"Oh.. gitu ya tante. Habis maghrib deh Shana ke rumah tante ya. Soalnya jam 3 ini mau siaran dulu sampe jam 6. Gapapa kan tante? Atau gangguin bulan madu nya om sama tante nih?" Goda saya.

"Ahahaha.. kamu bisa aja! Boleh kok sayang. Gapapa. Abis maghrib nanti kamu langsung ke rumah ya."

"Siapp!!" jawab saya tegas.

Setelah mematikan sambungan telpon, saya berjalan kembali ke departemen Radiologi. Sebentar lagi kami akan mulai belajar membaca foto rontgen.

Saya sudah duduk di dalam ruangan yang berdinding tebal. Sengaja di desain demikian agar sinar X tidak menembus kemana-mana. Hal itu juga yang menyebabkan sinyal tidak bisa tembus ke ruangan ini.

Satu rombongan kami hanya 10 orang, membuat kami belajar dengan melingkar. Saya memperhatikan dengan seksama bagaimana foto yang hanya berwarna hitam dan putih itu dapat memberikan berbagai macam arti bahkan menjadi rujukan tindakan yang akan diambil selanjutnya. Porsi warna hitam dan putih sudah diatur sedemikian rupa oleh Sang Pencipta, sehingga jika warna hitam atau putih itu tidak sesuai dengan porsi yg seharusnya, maka akan terbaca sebagai kelainan yang harus segera ditindak lanjuti.

Kami mulai dengan foto-foto yang 'normal' terlebih dahulu. Ketika kami sudah terbiasa melihat foto yang normal, akan sangat mudah bagi kami untuk melihat ketidak normalan di foto-foto lain.

Pukul 2.30 siang, kami telah menyelesaikan tugas kami. Saya pun keluar ruangan dan bergegas menuju tempat siaran. Dan jelas saja ketika saya membuka pintu, ponsel kami berdering ramai karena sms dan notifikasi lainnya baru bisa kami terima secara bersamaan saat sinyal masuk ketika pintu dibuka.

Saya memeriksa ponsel. Seperti biasa. Pesan saya berapa hari belakangan ini diwarnai oleh dua nama. Arqie dan Diqie. Mereka bagai Foto Rontgen yang barusan saya lihat, hitam dan putih. Selalu hadir dalam satu gambar hidup. Terkadang hitam lebih menonjol atau bahkan kadang putih lebih menguasai. Mereka hadir sesuai dengan porsi nya masing-masing dan dengan kalimat gombal khas mereka sendiri.

Saya mengabaikan pesan dari mereka dan bergegas ke studio siaran. Beruntung jarak dari RS dan studio tidak terlalu jauh. 20 menit sebelum opening siaran, saya sudah siap di depan mic dengan script dan bahan siaran saya. Semua itu selalu saya siapkan sejak malam harinya sehingga saya tidak perlu kalang kabut untuk menyiapkannya ketika akan siaran.

Baru saja saya hendak masuk ruang on air, ponsel saya berbunyi.

'Fiuuhhh.. untung ga bunyi di dalam. Hampir saja lupa matiin bunyinya.' ucap saya dalam hati.

Saya segera memeriksa layar ponsel dan melihat nama tertulis disana.

"GIA"

Ehh.. tumben banget nih si Gia nelpon. Gia adalah salah satu dari 23 orang laki-laki yang ditolak ketika melamar saya dengan orang tua saya. Kami masih berhubungan baik. Hanya saja sejak dia ditolak, seperti laki-laki lainnya, dia mundur perlahan, mulai jarang menghubungi, hingga lost contact. Sudah 1 bulan ini dia tidak menelpon atau mengirim pesan pada saya.

ShanarqieWhere stories live. Discover now