38 - PAST

26K 4.7K 1K
                                    

Terluka adalah hal yang paling aku benci karena dapat membatasi kegiatanku. Apalagi saat ini aku butuh banyak berkegiatan agar bisa mengalihkan keruwetan pikiranku. Aku sebenarnya tidak begitu yakin dengan keputusanku ini, oleh karena itu aku mulai meminta pendapat pada orang yang mengerti dan tentu bisa aku percayai.

Pengalamanku mengajarkan bahwa tidak akan pernah bisa mempercayai orang sepenuhnya, termasuk orang terdekatmu sekalipun. Lihat saja Padmini yang adalah pelayanku bahkan sejak aku masih kecil atau paling jelas yaa siapa lagi jika bukan Ayahandaku itu. Dia adalah orang yang berada diurutan teratas orang yang paling... paling... paling tidak dapat dipercayai di dunia ini.

Menengok ke bawah ke arah pelayan pribadiku yang tengah bersimpuh di lantai. Yaa, siapa lagi kalau bukan Rengganis. Aku senang... Oh bukan... bukan... lebih tepatnya aku lega saat melihat dia bisa selamat dari racun itu. Aku berhutang nyawa padanya, tetapi aku tidak mungkin berterima kasih karena bisa - bisa dia besar kepala nantinya. Tak ada jasa saja dia sudah kurang ajar, apalagi saat merasa berjasa. Bisa jadi hidupku ini makin tidak tenang dibuatnya.

Menyipit memandangnya, mungkin bukan aku saja yang sedang banyak pikiran. Aku tahu dia aneh, bukan hanya sikapnya tetapi juga pemikirannya. Jelas sekali jika raganya memang di sini tetapi pikirannya entah sedang menjelajah ke mana? Kenapa pula orang - orang yang ada di sekitarku tidak ada yang normal? Seakan belum cukup dengan Tohjaya, Mahisa ataupun Sadawira dan kini ditambah Rengganis. Oh Dewata, apakah ini hukuman bagiku?

"Kalau kau terus melamun yang ada lukaku tidak akan segera sembuh. Obati dengan benar! Seperti kau tahu, aku butuh tangan ini sembuh sesegera mungkin!" ucapku tegas dengan maksud menyindir Rengganis yang terlihat bekerja sambil melamun itu.

Memang saat ini dia ditugaskan mengobati luka sayatan di lenganku. Sebenarnya lukaku sudah cukup mengering, namun sepertinya akan meninggalkan bekas karena luka ini cukup dalam awalnya. Sebenarnya aku menggunakan ramuan penyembuh luka milik guru.

Entah bagaimana, tapi guruku itu juga mempunyai beberapa ramuan obat khusus yang mujarab. Tak heran sebenarnya karena guruku memang bukan orang biasa, apalagi kini dia memiliki Bimasena yang cukup berbakat meracik obat. Sepertinya pemuda itu mewarisi bakat pengobatan dari ayahnya.

Sayang sekali Mpu Wasesa tidak mau turun gunung dan menolak menjadi tabib istana, padahal setahuku Ayahanda pernah menemuinya langsung. Tapi takdir tak ada yang tahu, karena anaknya malah diselamatkan guru dari perampok dan kini menjadi penjaga Reksa. Ayahanda sepertinya bahkan tidak tahu jika sang anak memiliki kemahiran seperti ayahnya. Tentu, aku juga tak mau repot - repot memberi tahu padanya.

"Ampun, Pangeran. Hamba memang kurang berbakat mengobati. Sawitri seharusnya yang bertugas mengobati Pangeran, hanya saja dia tiba - tiba dipanggil menghadap Ratu lagi," jawab Rengganis sekenanya.

"Jika tidak bisa, berusaha hingga bisa! Aku sudah mengatakannya padamu dahulu kalakan? Bahumu yang terkena panah bukan kepalamu, jadi aku kira kau seharusnya tidak hilang ingatan, Rengganis!" ucapku ketus. Menyenangkan sebenarnya melihat raut wajahnya yang menahan kesal, karena itu bisa jadi hiburan tersendiri bagiku.

Tersenyum menatapku walau tahu senyuman itu dipaksakan, aku seolah - olah bisa menebak kemana arah pikirannya. Sepertinya dia memiliki niat buruk padaku misalnya ingin menjejalkan ramuan obat ini langsung ke mulutku bukan ke lukaku. Coba saja kalau berani?

"Apakah Pangeran ingin hamba panggilkan tabib saja? Mereka mungkin akan lebih mahir mengobati luka dibanding hamba yang tak becus ini. Katakan saja tabib mana yang harus hamba minta untuk datang ke sini, Pangeran?" balasnya sambil menekankan kata 'tabib mana', Ckckck... kurang ajar sekalikan pelayanku ini bukan?

SINGASARI, I'm Coming! (END)Where stories live. Discover now