8 - PAST

33.2K 5.6K 152
                                    

Berjalan perlahan melintasi hamparan rerumputan, kakiku merasakan embun basah yang menempel di helaian daunnya. Suasana sunyi dan gelap menemani langkahku karena ini memang masih dini hari. Ayam – ayam saja belum saatnya berkokok.

Sudah kukatakan sebelumnya bahwa kompleks istana tempat kediaman Pangeran Anusapati lebih sepi karena letaknya yang cukup jauh dari istana kediaman raja.

Menghentikan langkah kakiku, anggap saja ini adalah tempat persembunyianku. Walaupun kenyataannya tempat ini memang jarang didatangi orang – orang, bahkan penjaga istana saja jarang terlihat melewatinya. Walau memang tidak ada yang perlu di jaga di sini, karena yang ada hanya hamparan rumput yang dikelilingi pepohonan. Oh ada bilik kecil tempat menyimpan peralatan sepertinya.

Aku kadang ke tempat ini saat terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Entah kenapa rasanya sudah lama tidur tetapi anehnya belum pagi juga, mungkin efek tidak betah tinggal di sini. Ingin pulang tapi tak tahu bagaimana caranya. Bertanya pada orang, aku pasti dianggap tidak waras.

Mendekati salah satu pohon terbesar lalu duduk di bawahnya. Menyandarkan kepalaku hingga menyentuh dahan di belakangku sambil memandang langit. Ada begitu banyak bintang karena disini nyaris tidak ada polusi kendaraan. Apa Mama baik – baik aja di sana, di sini lebih banyak bintang Ma daripada di Bandung apalagi Jakarta, tapi Teteh tetep ingin pulang, Teteh takut Ma.

Dadaku sesak hingga tetesan air mata mengalir turun ke pipiku. Membenamkan kepalaku ke kedua lututku menahan isak tangis yang tidak bisa kukendalikan lagi. Benar, di tempat ini juga aku bisa menangis sesuka hati. Untung mataku tidak akan bengkak atau memerah dalam waktu yang lama akibat menangis, jadi aku hanya harus pandai mengatur waktu saat ingin menangis.

Menangis adalah cara termudah untuk mengurangi beban hati. Tidak menyembuhkan tentu, tapi hanya melegakan. Mengeluh jika kesal, beristirahat jika lelah, menyendiri jika penat dan menangis jika sedih. Semua itu akan membuatmu lebih baik tapi setelahnya kau harus lebih kuat lagi dan lagi.

Menegakkan badan dan sekali lagi menatap langit yang mulai memunculkan semburat fajar. Menghirup napas dalam saat sudah berdiri tegak. Semoga hari ini dapat terlewati dengan baik. Namun kepalaku tetap penuh rasanya, sehingga aku membalikan badan menghadap dahan pohon. Mengetuk – ngetukkan kepala dengan mata terpejam, berharap dapat mengosongkan kepalaku.

"Wuuuuuush" Suara yang terdengar begitu dekat dengan telingaku berhasil membuatku menahan napas dan tubuhku terdiam sesaat.

"Sreeeeet" Rambutku tergerai seketika karena kain pengikat rambut telah tertambat di mata panah yang sukses tertancap di dahan pohon besar ini. Bahkan getaran panah itu masih terdengar hingga membuat badanku ikut bergetar juga. Membalikkan tubuhku perlahan, mataku menangkap siluet orang yang familier di ingatanku.

Melihatnya sudah menurunkan busur, aku melangkah ke arahnya. Badanku masih gemetar tapi bukan lagi karena ketakutan tapi justru berganti menjadi kemarahan. Aku yakin seratus persen, dia sengaja memanahku.

Sepertiya bukan aku yang kurang waras tetapi orang – orang di sini yang kurang waras. Santai sekali mereka bermain – main dengan api, panah bahkan nyawa orang. Aku bukan pembela keadilan tapi aku tidak akan tinggal diam saat dirikulah yang dijadikan objek permainan. Maaf Bung, sepertinya kau salah mencari lawan.

Mendongakkan wajah menatap dirinya yang tinggi menjulang dihadapanku "Apa Raden berniat untuk membunuh hamba ? Oh ... pertanyaan hamba salah, seharusnya hamba bertanya, Apa Raden sedang mengancam hamba ? Jika Raden mau, pasti panah tadi bisa dengan tepat menembus kepala hamba."

"Aku pikir kau memang berniat menjadi sasaran panah karena berdiri tepat di pohon yang biasa kami jadikan sasaran saat berlatih memanah." Ucapnya dengan seringai menyebalkan

SINGASARI, I'm Coming! (END)Where stories live. Discover now