40 - PAST

26.6K 4.3K 724
                                    

"Apa perasaanku saja atau bagaimana? Tetapi rasanya pendopo ini kembali sepi semenjak Rengganis tidak ada lagi di sini, benar tidak?" tanya Sadawira sambil menengok ke kanan dan kiri guna meminta persetujuan.

"Aku juga berpikir begitu!" timpal Tohjaya sambil mengangguk - anggukkan wajahnya menyetujui pendapat Sadawira.

"Kadang - kadang aku bingung dengan cara Bunda Ratu berpikir atau mengambil suatu keputusan. Menurut Kanda kenapa Rengganis mesti dipindahkan ke istana Ratu? Seharusnya dia hanya perlu diberi beberapa sutra atau perak, menurutku itu sudah cukup tapi dipindahkan... Hmm, rasanya memang berlebihan," ucap Mahisa Wong Anteleng tampak heran.

Semua orang memandangku untuk menunggu jawaban, namun tidak mungkin juga aku ungkapkan alasan Bunda Ratu menawan Rengganis di tempatnya. Bukannya aku tidak mempercayai mereka bertiga tetapi aku tidak ingin mereka terseret dalam masalah tahta sialan ini. Lagipula mereka tak tahu jika Ayahanda sama sekali tidak berniat memberikan tahta padaku. Mereka hanya tahu jika Ayahanda tidak terlalu menyayangiku.

"Aku tidak begitu mengerti alasannya. Biarlah, entah di sini atau di sana pekerjaannya tetap sama yaitu sebagai pelayan," jawabku yang tidak masuk akal dan tentu dihadiahi dengusan oleh Sadawira.

"Seperti hukum alam, yang lemah akan terseret dalam pusara pertikaian orang - orang yang berkuasa!" kata - kata bijak Sadawira sialan itu jelas menyindirku.

"Ck, jangan terlalu berlebihan? Seharusnya Rengganis senang karena dia sekarang memiliki kedudukan lebih tinggi sebab dia dapat bekerja di istana Ratu bahkan tanpa mengikuti pemilihan seperti biasanya. Ingat, tidak semua pelayan mendapatkan kehormatan untuk melayani seorang Ratu!" ucapku berusaha menyakinkan mereka.

"Bicara soal lain saja, jujur aku berterima kasih pada Kanda karena kini aku terbebas dari kewajiban mengikuti peradilan rakyat," ungkap Tohjaya sambil tersenyum lebar berusaha mengalihkan pembicaraan, sebab aku dan Sadawira sudah saling melotot.

"Memang peradilan rakyat semengerikan itu, hingga Kanda terlihat senang atau Kanda Tohjaya saja yang pemalas?" tanya Mahisa Wong Anteleng penasaran sekaligus menyindir Tohjaya.

Tohjaya mendengus sebelum berkata, "Bukan mengerikan tapi sebaliknya sangat menggelikan, Mahisa. Satu hal yang harus kau camkan, ini tak ada hubungannya dengan kemalasan. Coba saja sendiri jika kau mau!"

Ah... Benar sekali kata Tohjaya tadi bahwa peradilan rakyat kadang memang menggelikan dan tak masuk akal. Peradilan rakyat adalah kebijakan Ayahanda yaitu dalam hari - hari tertentu, rakyat diperbolehkan hadir di pendopo utama istana untuk menyelesaikan permasalahanya. Sebenarnya ini adalah cara luar biasa untuk mengambil hati rakyat dan membuktikan bahwa Raja peduli akan rakyatnya. Cerdas sekalikan Ayahanda itu?

Aku sebenarnya setuju akan adanya peradilan rakyat ini. Lebih bagus lagi jika masalah yang diungkapkan rakyat ini adalah masalah besar seperti penipuan, sengketa lahan, hutang atau bahkan pembunuhan. Namun kenyataannya kadang tak sesuai harapan. Sebagian besar masalah yang diajukan justru adalah masalah yang sepele dan bahkan nyaris tidak masuk akal.

"Menggelikan? Maksudnya?" tanya Mahisa Wong Anteleng memastikan.

Tohjaya memutar bola matanya malas sebelum menjawab, "Begini adikku tersayang. Aku beri satu contoh, bayangkan aku pernah harus duduk berjam - jam hanya karena sebuah pohon nangka!"

"Haaaah..." ucap Sadawira dan Mahisa Wong Anteleng berbarengan.

"Jadi begini, ada sebuah pohon di pekarangan rumah. Pohon itu bertahun - tahun tumbuh dan membesar namun tak ada buahnya. Sialnya, tahun ini pohon itu memutuskan untuk berbuah dan pastinya buah nangka."

SINGASARI, I'm Coming! (END)Where stories live. Discover now