18 - PAST

28.3K 4.8K 308
                                    

Ambil napas dulu ...

Bersedia ...
Siap ...
Mulai ...
😴
-----------------------------------------------------------------

Waktu Pangeran berlatih bela diri adalah waktu istirahat tambahan bagiku, walau itu terjadi apabila tidak ada tugas tertentu yang diberikan. Berjalan ke taman bagian barat pendopo, yang pastinya sepi karena Pangeran berada di lapangan tempat latihannya. Melangkah pelan sambil membawa nampan berisi bunga – buangaan yang akan aku ronce dengan hati - hati.

Aku percaya bahwa sukses itu adalah hasil dari kerja keras, maka semakin sering latihan aku akan semakin mahir, kecuali Tuhan tidak merestui. Paling tidak berusaha saja, jika gagal mungkin kesuksesanmu bukan di sini tetapi ada di hal yang lain.

Namun langkahku terhenti mana kala netraku tertambat pada sosok yang tengah asik membaca sebuah buku. Aneh saja, dia ada di sini sendirian. Memperhatikan keadaan di sekitar yang masih sepi, lalu perlahan mendekatinya.

"Sedang apa Raden di sini sendirian ?" Tanyaku sesaat setelah mendudukan diri di dekatnya. Sepertinya dia terlalu fokus membaca, sehingga tidak menyadari kedatanganku.

"Bibi ?" Mata Raden Reksa membulat menatapku

Menjulurkan kepalaku pelan ke arah  semacam buku yang entah terbuat dari daun lontar atau serat kayu yang dibacanya itu "Apa yang sedang Raden baca ?"

Menyodorkan buku itu padaku "Lihat saja sendiri" Jawabnya sambil tersenyum

Mengambil buku itu dari tangan kecilnya, lalu mengerjabkan mata berkali – kali, namun berakhir dengan perasaan menyesakkan di dada. Sial sekali ... nasibku nampaknya jungkir balik sekaligus. Bukan berniat sombong tetapi bayangkan, aku yang di masa depan adalah seorang ASN alias pegawai pemerintah dan telah bersetifikasi ini, berubah menjadi pelayan di masa lalu.

Seakan semua belum cukup, aku yang di masa depan adalah seorang guru, namun di masa lalu ini, aku malah buta huruf ... Astaga, yang benar saja, ternyata mereka masih mengunakan aksara jawa kuno. Huruf yang lebih mirip cacing yang meliuk – liuk itu nyaris tak bisa kuartikan. Aku ini hanya guru sejarah bukan antropolog apalagi epigraf.

"Kenapa Bibi tampak sedih ? Memang Bibi mengerti isi kitabnya?" Tanyanya dengan masih tersenyum.

Oh yaa, di masa ini orang - orang masih menyebut buku sebagai kitab. "Raden sudah tahu bahwa hamba tidak akan bisa membaca apa yang tertulis di sinikan?" Tanyaku menyipitkan mata memandangnya. Like father like son ... mereka sama – sama ME – NYE – BAL - KAN

"Hihihi ... tentu saja Bibi. Laki – laki saja banyak yang tidak bisa membaca dan biasanya anak perempuan memang sebenarnya tidak diperbolehkan belajar membaca. Walau beberapa anak perempuan bangsawan ada yang memiliki   guru untuk mengajarinya membaca, tetapi kata Romo hanya sedikit yang melakukannya. Buang – buang waktu dan uang menurut mereka, tapi menurut Romo belajar membaca itu penting, tidak hanya untuk laki – laki tetapi juga perempuan."

"Ahh ... benar sekali yang dikatakan Romo Raden itu. Tapi dimana Romo Raden sekarang ? Dia seharusnya tidak membiarkan Raden Reksa berkeliaran di istana sendirian." Tanyaku sambil mengedarkan pandangan mencari keberadaanya yang biasanya muncul tiba – tiba.

Mengambil kitab itu dari tanganku lalu mulai mulai membaca lagi "Aku tidak sedang berkeliaran Bibi, tetapi sedang membaca. Lagi pula dari seminggu lalu Romo sudah pergi menangkap orang jahat dan entah kapan Romo kembali. Hari ini Paman Bimasena harus berlatih dengan Pangeran jadi aku minta dia juga mengajakku. Aku juga biasanya diizinkan oleh Pangeran Anusapati untuk membaca di manapun, asal tidak keluar dari kawasan pendopo." Menghela napas pelan dia melanjutkan "Aku benci sendirian jika di rumah."

SINGASARI, I'm Coming! (END)Where stories live. Discover now