46 - PAST

28.1K 4.3K 1K
                                    

"Raden... Raden Panji... Anda dengar kata - kata hamba?" tanya Rengganis sambil menggoyang - goyangkan tangannya di depan wajahku dan membuat aku tersadar dari ingatan lamaku.

"Ck, tidak perlu kau dekatkan tanganmu seperti itu, apa kau mau mencekikku, hm?" balasku seadanya.

Melotot memandangku lalu kembali duduk bersimpuh di tempatnya semula "Berapa kali hamba harus bilang pada Raden bahwa hamba bukan pembunuh!"

"Memang, kau bukan pembunuh. Aku yang pembunuh. Ck, bahkan aku tak ingat pasti berapa orang yang telah terbunuh olehku. Hmm... mungkin puluhan atau bahkan ratusan orang. Aku rasa banyak sekali walau jujur aku tidak pernah berniat menghitungnya."

Mengerutkan dahi sebelum berkata, "Bagaimana bisa Raden berkata begitu santai tentang pembunuhan? Makin hari, Anda membuat hamba semakin takut."

"Aku hanya ingin kau mengerti kenyataan yang ada di depanmu. Siapa aku dan bagaimana kehidupanku, itu saja tidak lebih." jawabku santai sambil kembali mengunyah nasi "Tadi kau bilang mau bertanya dan meminta sesuatu." Menelan makananku sebelum melanjutkan "Pertanyaan dulu kalau begitu. Apa yang ingin kau tanyakan, Rengganis?"

"Ini?" tanyanya sambil mengangkat tangan kanannya tinggi - tinggi.

Melirik sekilas ke arahnya "Terlihat bagus di jarimu!"

Dia berusaha membukanya namun kesulitan "Auww... panas. Cincin macam apa yang Raden pasangkan di jari hamba? Raden ingin membuat kulit hamba gosong?" ucapnya sambil meniup - niup cincin yang melingkar di jari kelingkingnya.

"Pakai saja dan jangan melepasnya maka cincin itu tidak akan melukaimu!"

"Kenapa pula hamba harus memakaianya?"

"Karena itu perintah dariku!" jawabku cepat.

Memang tadi aku memasangkan sebuah cincin di jarinya ketika dia ketiduran di kamar Reksa. Tidak mungkin aku beritahu kegunaan cincin batu itu padanya. Reksa juga memakai cincin serupa dengannya. Paling tidak dengan begitu aku bisa tenang dan tidak begitu mencemaskan mereka. Semoga dia juga tidak lama marah atau mendiamkanku seperti istriku saat dulu aku memasangkan cincin semacam ini pertama kali di jarinya.

"Tapi hamba tidak mau, Raden!" balasnya tampak geram.

Nah kan, benar dugaanku dia marah juga. Semua perempuan sama saja ternyata. Tetapi kali ini, jika dipikir - pikir mana ada rakyat jelata yang sekurang ajar dia? Sejak dahulu dia selalu membangkang padaku. Walau matanya kelihatan segan tetapi mulutnya sangat berani. Seharusnya dia bersujud karena mendapat hadiah, tapi kenyataannya tidak demikian. Sebenarnya aku jatuh cinta pada perempuan macam apa?

"Kenapa tidak mau? Kau ingin aku berikan cincin perak atau emas begitu?" tantangku karena mungkin saja dia ingin perhiasan lain dariku. Perempuan dan perhiasan sepertinya tak dapat dipisahkan.

Terkekeh pelan sebelum menjawab, "Bukan cincinnya yang jadi masalah. Jikapun Raden memberikan cincin berlian sekalipun, hamba juga tetap akan menolak. Hamba tidak berhak dan hamba juga bukan siapa - siapa bagi Raden. Terlebih hamba tak begitu suka perhiasan."

"Berlian itu apa?"

"Ck, bukan di situ intinya. Pokoknya hamba tidak ingin ada hubungan apapun dengan Raden. Hamba hanya ingin bekerja dan hidup tenang di sini!"

Memandang matanya guna mencari keraguan di sana "Kau tidak ingin memiliki hubungan denganku, begitu? Bagaimana jika aku yang ingin memiliki hubungan denganmu, Rengganis?" tanyaku keras kepala.

Pura - pura tuli akan pertanyaan yang aku lontarkan, dia malah berkata, "Tolong katakan bagaimana caranya agar cincin ini terlepas dari jari hamba, Raden Panji Kenengkung yang terhormat?"

SINGASARI, I'm Coming! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang