14 - PAST

28.4K 4.9K 135
                                    

"AARRRRGGGGHHH ... Papa" teriakku membuatku terduduk seketika dengan keringat dingin membasahi wajah dan rambutku

Terbangun dengan kaget "Astaga, Rengganis kamu mau buat aku mati kaget setiap hari apa ?"

Memandangku dan mengeryitkan dahi heran "Kamu baik - baik saja ? Kamu berkeringat dan wajahmu pucat sekali" tangannya terulur menyentuh dahiku

Menghalau tangan itu pelan "Aku tidak apa - apa, hanya mimpi bu__buruk" Jawabku agak tergagap "Kau tidur saja lagi, langit masih gelap. Aku mau cuci muka dulu. " Mencoba tersenyum saat Sawitri masih memandangku khawatir "Benar Sawitri, aku baik - baik saja. akukan memang sering berteriak tak jelas." Lanjutku bergurau

"Iya juga, kau memang aneh" Jawab Sawitri sambil merebahkan dirinya di tempat tidur lagi

Meninggalkan kamar dengan perlahan, suasana temaran dan sunyi langsung menyambutku. Menghembuskan napas perlahan berusaha melepaskan kegundahan hatikku. Mimpi itu kembali setelah beberapa tahun tidak kualami.

Pengalaman buruk yang membayangiku selalu walau aku berada di tempat terang sekalipun. Ketakutan terbesarku yang aku sembunyikan dan membuatku memilih untuk pergi menjauhi rumah sebisa mungkin. Aku pengecut ? Iya. Namun hal yang paling mudah dilakukan saat menghadapi ketakutan adalah melarikan dirikan, itu pula yang aku lakukan selama ini.

Mungkin banyak cara mengenang kepergian orang yang kita sayangi. Ada yang menggenggam kenangan seperti Mama dan ada pula yang melarikan diri dari kenangan, seperti aku ini. Tapi berada di rumah entah mengapa membuatku sesak serta tertekan oleh rasa bersalah. Mama tidak pernah menyalahkanku sekalipun, justru dia yang menjagaku saat depresi.

Aku tahu kadang Mama menangis di tengah malam. Kesedihan kami sama, namun untung Mama tidak mengetahui tindakan bodoh yang hampir kulakukan dulu. Bertahun - tahun telah berlalu namun aku tetap tidak bisa berdamai dengan masa laluku sendiri.

Berjalan ke luar pendopo ditemani suara jangrik yang saling bersautan. Mengambil langkah ke arah kanan, menuju tempat yang pastinya bisa dengan aman aku datangi. Menaiki dua undakan lalu duduk di undakan ketiga. Bau harum bunga - bungaan langsung menyelusup ke rongga hidungku. Tidak heran karena tiga kali sehari bunga di sini akan diganti dengan yang baru.

Menjatuhkan kepala diantara lipatan tangan yang bertumpu ke lututku. Beristirahat di sini sebentar mungkin bisa membuat perasaanku sedikit membaik, lagipula hari masih gelap. Semilir angin yang berhembus, sedikit lagi berhasil membawaku masuk kembali ke alam mimpi, jika saja tidak ada suara dehaman cukup keras dan tentu membuat kepalaku tegak seketika memandang ke arah orang itu.

Ada yang bilang bahwa jika hanya sekali artinya kebetulan, jika tiga kali artinya takdir, tapi jika berkali - kali maka artinya ada apa - apa. Berdecak pelan karena betemu dengan dia dan dia lagi. Apa dia memata - mataiku ? Kurang kerjaan sekali jika benar begitu. Menaikan sebelah alisku menunggunya berbicara.

"Apa yang kau lakukan di sini, malam - malam begini ?" Suara Raden Panji untuk kesekian kalinya dengan wajah yang tampak mengeram dan menekankan kata 'malam - malam' padaku

Menyembunyikan kekesalanku, berusaha tersenyum "Tentu saja berdoa Raden. Hamba tidak mungkin memasak di depan Dewa Siwa, bisa - bisa hamba di kutuk, Raden"

"Jangan bermain - main denganku, Rengganis" Bentaknya

"Apa yang Raden harapkan dari jawaban yang hamba berikan ? Menyimpan keris di tempat rahasia atau meracik racun begitu ?"

"Kau___"

Memotong perkataannya "Hamba tidak tahu sampai mana Raden mendengar percakapan hamba dengan Pangeran Anusapati. Sepertinya Raden salah paham. Namun, seperti yang hamba ucapkan berkali - kali pada Raden bahwa hamba tidak memiliki niat mencelakai siapapun. " Menghembuskan napasku gusar "Di tempat hamba tinggal, membunuh itu adalah suatu kejahatan berat. Apakah ada banyak pembunuh di sana ? Jawabannya iya. Tetapi lebih banyak lagi orang yang akan berpikir dua kali sebelum dengan SENGAJA membunuh seekor semut sekalipun. Raden bisa pegang kata - kata hamba, karena membunuh tidak pernah ada dalam rencana hamba. "

Bersedekap dengan kedua tangan terlipat di dada "Ckckck ... Jadi apa rencanamu sekarang ? Menggoda Pangeran Anusapati begitu ? "

Mencoba fokus pada wajahnya bukan pada otot bisep yang menegang di kedua lengannya "Raden sedang bergurau ? Untuk apa hamba menggoda Pangeran Anusapati ? Beliau lebih pantas hamba panggil adik daripada suami. Masalah nyawa maupun masalah hati bukan tujuan hamba hingga saat ini. Satu - satunya yang hamba inginkan adalah hanya bisa kembali ke tempat asal hamba, namun orang yang mungki bisa membantu hamba berada di tempat yang tidak terjangkau bagi hamba. Jadi Raden ja__"

"Orang yang tak dapat kau jangkau ... maksudmu Raja ? Kau berkeinginan untuk menjadi selir Raja ? Pantas saja matamu tidak berkedip saat pertemuan di balai agung. Apa kau sudah gila ? Jika benar kau ingin pulang, maka dengan menjadi selir raja, justru kau tidak bisa meninggalkan istana selama kau masih hidup dan bahkan saat kau sudah menjadi mayat. Di mana sebenarnya otakmu Rengganis ? "

Otakku ada di restoran padang, sedangkan otak Raden sepertinya sedang dibakar menjadi otak - otak ... Eh ... Otak - otak nggak pake otak yaaa ... Aissshh

Jawabku di dalam hati, makin kesal saat orang itu menyampaikan argumen yang bahkan tidak terpikirkan olehku. "Raden sepertinya salah paham lagi. Mungkin hamba terpukau, tetapi bukan karena rasa suka tapi apa yaa ? Heeem ... misalnya yang berdiri di depan hamba itu ... Rama ... Eh bukan - bukan ... Rahwana saja, hamba juga akan terpukau Raden. Bayangkan, tidak mungkinkan hamba menyukai Rahwana ? Bertemu langsung dengan orang yang tadinya hanya anda bisa baca lewat tulisan, tetapi tiba - tiba berdiri di hadapanmu, wajar bila hamba lupa berkedip Raden. Nah seperti itu yang hamba rasakan. Lagipula beliau lebih cocok hamba sebut ayah dari pada suami Raden " Menghembuskan napas untuk kesekian kalinya "Hamba memang pelayan Raden, tapi hamba tidak pernah berkeinginan untuk menjadi selir atau isteri kedua, ketiga, keempat ataupun isteri kesepuluh. Sekalipun Raden yang lebih tampan dari mereka yang menawarkan pada hamba. Hamba tetap akan menolaknya. Lebih baik hamba menjadi isteri seorang petani tetapi hamba adalah isteri satu - satunya, Raden " Ucapku agak terngah - engah menahan kesal

"Jadi menurutmu aku lebih tampan dari mereka ?" Tanyanya dengan seringai menyebalkan

Menganga sesaat mendengar pertanyaannya "Dari perkataan hamba yang panjang lebar tadi, hanya bagian itu yang Raden tangkap?"

"Memang seharusnya apa?" Tanyanya

Berdiri lalu mengibaskan debu yang mungkin menempel di kain jarik saat aku duduk. Berbicara dengannya sepertinya akan memicu hypertensi jadi menghindar lebih baik, bodohya aku tadi menyebutnya tampan. Mungkin itu yang dimaksud lidah tak bertulang sehingga perkataanku tak terkontrol. Ah sudahlah ... Lebih penting lagi menyelamatkan harga diriku yang sudah terjun bebas, jadi aku berdiri melewatinya tanpa memandang wajahnya. Berutung dia tidak mencegahnya.

"Hei ..." Ucapnya saat kakiku sudah melewatinya sebanyak dua langkah

Sedikit mengeram menahan kesal yang sepertinya sudah sampai ubun - ubun, menengok ke belakang "Raden sebaiknya tidak perlu mengawasi hamba, karena itu buang - buang waktu. Jika ada yang meninggal itu pastinya bukan karena HAMBA. Lebih baik Raden mengurusi anak dan isteri Raden yang mungkin sedang menunggu Raden di rumah dari pada repot - repot mengurusi pelayan seperti hamba. Hamba bukan siapa - siapa yang layak mendapatkan kehormatan seperti itu." Ucapku lalu berjalan cepat meninggalkan dia dan tak aku hiraukan ucapannya.

"Istriku yaa ..." Katanya pelan namun masih bisa kudengar

--------------------- Bersambung ---------------------

4 September 2020

SINGASARI, I'm Coming! (END)Where stories live. Discover now