30 - PAST

24.8K 3.9K 103
                                    

"Kenapa kau terus saja menangis, hm? Aku memang senang jika kau diam, tidak banyak bicara dan juga tidak membuat masalah. Tapi bukan berarti kau bisa tidur tanpa bangun selama hampir tiga hari, Rengganis. Kau dengar aku bicara kan? Jadi cepatlah bangun!" ucapku sambil menyeka air mata yang terus mengalir dari mata Rengganis yang terpejam. Dia mimpi apa sebenarnya?

Aku menyatukan kedua tanganku lalu berdoa sepenuh hati, "Dewata, hamba mohon jangan ambil nyawa teman hamba lagi. Sudah cukup hamba kehilangan Padmini. Tolong beri keajaiban bagi hamba kali ini. Hamba mohon dengan sangat."

Menghapus air mataku yang juga menetes saat mengingat teman pertama sekaligus orang yang aku anggap kakak perempuanku yaitu Padmini. Hingga detik ini aku bahkan tidak pernah bisa benar-benar melupakan kejadian nahas itu. Semuanya jelas terpeta dalam ingatanku. Rasanya seperti kejadian itu baru saja terjadi kemarin, padahal sudah lebih dari seratus hari kejadiannya telah berlalu.

Dua malam sebelum kejadian ...

"Huuaaah" Menguap lalu mengerjabkan mata berusaha mengumpulkan nyawaku yang sepertinya sebagian masih berada di alam mimpi, dahiku mengernyit kala menatap ke samping lalu berkata, "Astaga, kau tidak tidur lagi Padmini ? Sudah beberapa malam ini kau melamun terus dan sepertinya tidak tidur. Ada apa sebenarnya ? Ayo ceritakan, siapa tahu aku bisa membantu untuk menyelesaikan masalahmu itu ... Huuaaah." tak kuat menahan kantuk, aku menguap sekali lagi.

"___" tak ada jawaban, bahkan menengok ke arahku saja tidak. Dia tetap memandang ke arah depan. Sepertinya belakangan ini dia memang banyak pikiran.

Menyangga kepalaku yang terangkat dengan sebelah tangan kemudian berkata, "Apa karena belakangan ini Pangeran Anusapati sering memarahimu ? Aneh sebenarnya karena biasanya aku yang dimarahi karena sering berbuat salah. Heem ... Tak perlu kau pikirkan terlalu dalam Padmini, anggap saja itu pelarian saat seseorang sedang patah hati ... Hihihi."

Menoyor kepalaku sehingga terhempas ke lipatan kain yang biasa dijadikan pengganjal kepala saat tidur "Sok tahu !"

Aku bangkit dari berbaring lalu duduk menghadap Padmini yang memang dari tadi bersandar di tembok ujung tempat tidur sambil menselonjorkan kaki "Jangan pura - pura tidak tahu. Beritanya bahkan sudah menjadi bahan pembicaraan para pelayan istana bahwa Kanjeng Padestari telah menerima perjodohan Raja dan akan segera melangsungkan pernikahannya."

"Hati - hati dengan perkataanmu Sawitri, karena aku tidak akan ada selamanya untuk melindungimu!" ucap Padmini memperingatkan.

Mengabaikan peringatannya, "Iiisshh ... Tapi sayang sekali, mengapa Kanjeng Padestari tidak menikah saja dengan Pangeran Anusapati ? Awalnya aku lebih setuju jika Pangeran Anusapati menikah dengan Kanjeng Padestari daripada dengan Kanjeng Praya. Kau tahu sendiri sikap mereka berbeda sekali bagai sinar matahari dan air. Menyebalkan sekali, kenapa pula Kanjeng Padestari menerima perjodohan itu ? Sekarang aku tidak menyukai Kanjeng Padestari lagi karena telah membuat tuanku patah hati."

Menoyor kepalaku sekali lagi "Kau tidak menyukai Kanjeng Padestari bukan karena membela kepentingan Pangeran Anusapatikan ? Kau pikir aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Jangan mengalihkan kekecewaanmu pada orang yang tak tahu apa - apa dan tak bersalah sama sekali."

"Kau pandai sekali menabur garam di atas lukaku, Padmini. Tetapi menurutmu mengapa Pangeran Anusapati tidak menghentikan perjodohan itu ?" Dahiku berkerut sesaat sebelum berkata, "Aku yakin Pangeran Anusapati menyukai Kanjeng Padestari. Dia bahkan berburu harimau putih hingga berminggu - minggu, namun sialnya saat kembali malah bukan dia yang memberikan hadiah berupa kulit harimau putih. Justru sebaliknya dia yang diberi hadiah berupa kabar pernikahan Kanjeng Padestari. Miris bukan ? Semiris kulit harimau yang kini teronggok di dalam peti."

SINGASARI, I'm Coming! (END)Where stories live. Discover now