20 - PAST

27.3K 4.5K 223
                                    

Silahkan dibaca ...

Tapi jangan lupa untuk tidur yaa

--------------------- 😴  ----------------------

Tidak terasa hampir sebulan Pangeran Anusapati meninggalkan istana untuk berperang. Menurut desas – desus yang beredar katanya ada peperangan besar di daerah Daha. Setahuku Raja Daha yaitu Dandhang Gendis telah dikalahkan Ken Arok. Namun entah adiknya yaitu Mahisa Walungan atau menterinya yaitu Gubar Baleman memang berhasil melarikan diri. Mungkin kini mereka mulai menyusun stategi baru guna mengalahkan Kerajaan Singasari.

Ketidak hadiran Pangeran Anusapati tentu membuat pendopo dan daerah sekitarnya sepi. Apakah kami diam dan berleha – leha? Itu memang harapanku, tetapi kenyataan tentu tak seindah ekspektasi. Kami tetap membersihkan pendopo seperti biasa, lalu turut mempersiapkan beberapa hal untuk ritual keagamaan yang akan berlangsung.

Aku juga mulai belajar menenun kain walau hasilnya jauuuuuuh dari harapan. Pokoknya, aku adalah satu – satunya pelayan yang tampak bodoh dan minim keterampilan. Ingin rasanya mengumpat, namun mereka paling hanya menertawakan ketidak mampuanku dan tidak benar - benar menghina ataupun memusuhiku. Tetapi aku tahu bahwa mereka berbuat demikian juga salah satunya dikarenakan ingin memakan kudapan buatanku yang tentu belum pernah mereka makan. Meski begitu, aku juga tetap tidak menyebutkan nama makanan itu, karena rasanya seperti mencurangi takdir Tuhan.

Bisa dikatakan ketiadaan Pangeran Anusapati di istana membuat tidak hanya perasaanku yang membaik tetapi badanku juga ikut membaik dalam arti berat badanku sepertinya ikut bertambah. Rasanya kain yang kupakai semakin sempit dan membuatku sesak. Mungkin ini juga efek terlalu sering mengkonsumsi karbohidrat yang membuat perutku terasa begah.

"Kalian berdua pergi ke Kuil Agung dan letakan persembahan ini di sana." perintah Nyi Ratri sambil menyerahkan dua nampan besar persembahan pada kami berdua.

Memang sejak Pangeran Anusapati pergi, Nyi Ratri lebih sering meminta kami menaruh persembahan sebagai doanya untuk keselamatan Pangeran di medan perang. Dia juga tidak hanya memberikan persembahan di kuil pendopo Pangeran Anusapati tetapi juga di Kuil Agung. Aku sih senang – senang saja karena bisa berjalan – jalan mengelilingi istana dari pada membiarkan mataku makin jereng saat menentukan urutan benang saat menenun.

Berjalan pelan berdua dengan Sawitri menuju Kuil Agung yang berada di bagian timur istana. Beberapa kali kami terhenti karena berpapasan dengan beberapa pelayan yang dikenal Sawitri. Tidak mengobrol lama tentu, karena setiap pelayan memiliki tugas yang harus diselesaikan dengan segera. Mendekati Kuil Agung, dahiku mengernyit karena ada lebih banyak pengawal yang berjaga di luar kuil. "Sawitri, kau merasa ada yang aneh tidak?" tanyaku penasaran

"Bukannya setiap hari kau memang aneh," jawabnya sambil menahan senyum

"Issshh... Bukan tentang aku, lagipula aku ini unik bukan aneh," ucapku seadanya lalu melanjutkan, "Maksudku kenapa banyak pengawal berjaga di depan kuil? Perasaan kemarin tidak sebanyak ini."

Mendongakkan wajah menatap kuil yang masih sekitar 10 meter di depan kami dan sepertinya Sawitri menyadari sesuatu, "Berarti kita harus buru – buru, Rengganis. Kemungkinan Raja atau Ratu atau bahkan para Pangeran akan berdoa. Jika itu terjadi maka tidak ada orang yang diizinkan masuk ke dalam kuil sebelum mereka selesai berdoa."

"Oh begitu!" balasku sambil mempercepat langkahku memasuki kuil bersama Sawitri

Jujur, aku kurang nyaman berada di kuil utama karena tidak hanya bau bunga – bungaan yang menyengat tetapi juga bau dupa yang kuat. Rasanya aku sulit bernapas, entah oksigen sedang bersembunyi di mana. Aku tak tahu, apakah hanya aku yang merasa pusing jika mencium aroma yang terlalu kuat? Tetapi jangankan dupa, aku saja pusing saat mencium minyak wangi Pak Galih yang bisa bertahan di udara, padahal orangnya sudah naik ke lantai dua sekolah untuk mengajar.

SINGASARI, I'm Coming! (END)Where stories live. Discover now