56 - PAST

25.7K 4.9K 2.2K
                                    

Siapin air minum yaa Readers...
Biar nggak "seret" tuh tenggorokan
Lumayan banyak nih isi chapter-nya
4.000 words lebih loh ini
(Ada yang mau ngitung??? 🤭)
Btw, hati-hati juga, awas "keselek"

୧(^ 〰 ^)୨
----------------------------------------------

Sebulan telah berlalu sejak kejadian mengerikan kedua dalam hidupku. Benarkan perkiraanku bahwa ikut campur dalam perjalanan sejarah bukannya membantu tetapi justru bisa mencelakakan. Apa aku menyesal? Sangat... sangat menyesal.

Kadang aku masih memimpikannya, tapi aku juga tidak bisa terlalu menunjukkan traumaku pada orang-orang. Setelah terbangun dan ada Reksa di sampingku yang tampak khawatir dan menangis karena dia takut aku tidak bangun lagi.

Aku rasanya merasakan disorientasi waktu untuk kedua kalinya. Terakhir yang aku ingat aku ada di tempat pemandian dan ada Raden Panji Kenengkung juga. Namun, menurut Reksa aku tidak bangun selama dua hari.

Belum sempat mencerna keadaan, ternyata Ayu juga muncul yang bersimpuh. Dia meminta maaf berkali-kali sambil berurai air mata. Dengan sisa tenagaku aku bahkan mengatakan bahwa bukan dia yang salah tetapi aku sendiri yang ceroboh.

Sialnya lagi, Raden Panji Kenengkung juga melarangku bekerja serta tetap berada di kamar yang terletak di pendopo utama hingga aku benar-benar sembuh. Hal itu tentu makin membuat posisiku terjepit. Oleh karena itu mulailah aku berpura-pura kembali sehat jiwa dan raga.

Sumpah, keadaan ini membuat aku ingin pulang tapi betapapun aku merangkai rencana tetap tak ada jalan keluar yang menjamin aku benar-benar bisa pulang. No clue guys. Pergi ke Jakarta adalah satu-satunya cara yang agak masuk akal tapi tidak mungkin bisa aku lakukan dengan keadaanku saat ini. Meminta bantuan Raden Panji Kenengkung lebih tidak masuk akal lagi.

Lagipula apa yang aku bisa lakukan di sana? Sungguh aku tak punya perkiraan yang masuk akal sama sekali. Mungkinkah aku harus mencontoh beberapa film tentang time traveler dimana sang tokoh menenggelamkan diri sehingga bisa berpindah dimensi. Tetapi sungai yang ada di sekitar sini bahkan tidak bisa menenggelamkan seorang anak kecil karena dangkal. Mencari laut juga aku bingung harus pergi kemana.

"Mengapa kau melamun malam-malam begini, hm?" suara Raden Panji Kenengkung membuatku menengok ke samping. Heran, dia ada di manapun dan kapanpun saat aku sendirian.

"Raden sudah pulang? Apa mau hamba ambilkan makanan?" jawabku setelah memberi hormat padanya.

"Apa wajahku tampak terlihat selalu kelaparan di matamu, sehingga kau pasti menawarkan makanan saat melihatku, Rengganis?"

Terkekeh sebelum berkata "Maaf, bukan begitu maksud hamba."

"Di mana yang lain?"

"Bukannya Raden dari istana tadi? Tidak tahukah Raden jika ada pertunjukan di alun-alun? Reksa ingin melihatnya jadi mereka pergi tetapi Mbok Jum tidak ikut karena sedang tidak enak badan."

"Aku tidak melalui gerbang utama tadi jadi tidak tahu apa-apa. Apa Mbok Jum sakit parah? Tidakkah Bimasena memeriksanya?"

"Sudah Raden, kata Bimasena tadi, Mbok Jum hanya sakit tua. Maksudnya apa hamba tidak paham Raden. Bimasena hanya menyuruhnya istirahat setelah meminum ramuan."

"Kau tidak ikut pergi ke alun-alun bersama mereka? Aku tidak melarangmu untuk bersenang-senang."

Memandangnya sekilas lalu mengalihkan pandangan ke arah langit malam yang tampak terang karena sedang bulan purnama "Hamba tidak ingin pergi kemana-mana, Raden."

SINGASARI, I'm Coming! (END)Where stories live. Discover now