19 - PAST

30.2K 5.3K 294
                                    

Wattpad makin sepi yaaa ... 🤔

----------------------------------------------------------------

Setelah membereskan pendopo Pangeran Anusapati dan membersihkannya aku menengok Sawitri yang terlihat santai mengelap hiasan dinding. Dahiku mengernyit, biasanya dia akan buru – buru karena harus pergi ke dapur istana dulu, tetapi kenapa dia tenang – tenang saja. "Sawitri, kapan kita pergi ke dapur istana untuk mengambil makanan untuk Pangeran Anusapati? Sebentar lagi Pangeran bangun," tanyaku agak berbisik.

"Hari ini Pangeran tidak akan sarapan di sini, tapi akan ke kediaman Raja," jawab Sawitri tanpa mengalihkan pandangannya dari hiasan dinding.

"Kok aku tidak tahu soal itu?"

Menghembuskan napas sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke padaku "Tadi Nyi Ratri memberitahuku saat kau menaruh bunga untuk persembahan."

Tersenyum lebar "Syukurlah kalau begitu. Kita tidak perlu berjalan bolak - balik ke dapur istana," ucapku senang

"Tapi kita harus bolak – balik ke istana Raja yang jaraknya lebih jauh dari pada dapur istana!"

Senyumku surut seketika "Aku kira, kita tidak ikut. Bukannya tidak sembarangan orang bisa mendekati Raja?"

"Iya, kau betul, maka itu kita akan menunggu Pangeran di luar pendopo saja," jawab Sawitri sambil menahan batuk.

Mendesah pasrah, apa boleh buat. Double penderitaan namanya dalam bentuk jalan jauh plus menunggu cukup lama yang akan dilakukan dalam satu waktu. Ya Tuhan kapan cobaan ini berakhir, sungguh hamba tidak sangup lagi.

***

Setelah semalaman berpikir akhirnya aku memutuskan untuk melakukan sesuatu, apalagi setelah mendengar berita yang dibawa Mahisa Randi kemarin. Maka untuk itu aku harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Ayahanda.

Oleh karena itu, hari ini aku akan ke istana utama dan menemui beliau saat makan pagi. Lagi pula sudah cukup lama aku tidak menemuinya, walau Ibunda selalu menyuruhku mengunjunginya sekedar menyampaikan salam sebagai bakti seorang anak pada orang tuanya.

Anak berbakti??? Sepertinya predikat itu memang tidak cocok disematkan padaku. Aku pikir berada sejauh mungkin dengannya adalah bentuk baktiku sebagai anak. Mataku tidak buta untuk melihat tatapan tidak sukanya padaku dan entah kenapa kemarahanku akan muncul ke permukaan saat berinteraksi dengannya. Rasanya aku tidak benar – benar memiliki ayah walau jelas – jelas dia berada di sana, di tempat tertinggi sebagai pemimpin Tumapel.

Langkahku berhenti kala mendengar suara helaan napas berat berkali – kali, berbalik badan menatap ke belakang ke arah dua pelayan wanitaku. Rasanya ingin tertawa kala melihat mereka berdua memiliki dua ekspresi berbeda. Yang satu berekspresi hormat nyaris takut, sedangkan yang satunya malah terlihat waspada. "Sawitri, apa kau sakit?" tanyaku karena menyadari raut wajahnya yang pucat dan berkali – kali batuk tertahan.

Sawitri adalah pelayan yang melayaniku sudah sangat lama, bahkan saat kami masih berumur belasan tahun. Walau Padmini lebih lama lagi karena dia seperti ikut tumbuh bersamaku. Ah... tak ada gunanya mengingat pelayan tak tahu diri itu. Bodoh sekali aku mempercainya selama bertahun – tahun.

"Hamba tidak apa – apa, Pangeran," jawabnya lemah.

"Tadi aku sudah bilang, kau tidak perlu ikut, biar Rengganis saja yang ikut bersama Madra dan Wasa. Lagipula kalian tidak diizinkan memasuki istana tempat kediaman raja."

"Hamba baik – baik saja Gusti Pangeran," jawab Sawitri keras kepala

"Terserah kau saja lah!" ucapku sambil berderap mendekat bangunan megah yang mulai terlihat di depan mata.

SINGASARI, I'm Coming! (END)Where stories live. Discover now