23 - PAST

26.9K 4.7K 337
                                    

Sehari setelah kejadian di pendopo Pangeran Anusapati, aku masih tidak diizinkan menjalankan tugasku. Jangan salah paham, tidak menjalankan tugas belum tentu aku bisa istirahat atau bahkan bedrest. Ini lebih tepat disebut bertukar tugas dengan Dursa daripada disebut beristirahat.

Kehidupan budak di masa apapun tetaplah serupa walaupun tak sama. Budak hanya akan berhenti dipekerjakan hanya dalam dua kondisi, yaitu yang pertama jika dia kehilangan anggota tubuhnya atau yang kedua jika dia kehilangan nyawa. Tak ada upah, karena diberi makan, minum dan tempat tinggal saja kami seharusnya sudah bersyukur. Itu yang dikatakan Sawitri padaku pada saat aku bertanya berapa gajiku padanya dahulu. Maka aku angkat topi bagi mereka yang berjuang menghapuskan perbudakan di dunia ini.

Walau tinggal di istana, aku dan pelayan lain tetaplah budak. Tetapi jujur, jika boleh memilih aku lebih suka pekerjaan Dursa sebagai asisten juru masak kudapan. Nyi Knasih selaku juru masak senior sangat baik padaku sejak dulu. Di sini juga aku hanya harus menghadapi panasnya tungku kayu dari pada menghadapi panasnya perkataan Pangeran Anusapati. Benar kata Nyi Ratri, bahwa salah atau tidak salahpun aku pasti akan terkena masalah jika terus berada di sekitar Pangeran Anusapati. Mungkin itu juga alasan sehingga aku diungsikan ke dapur pendopo.

Sejak pagi suasana hatiku membaik, apalagi tempat ini dipenuhi aroma manis dari masakan Nyi Knasih. Aku adalah pecinta camilan jadi bagiku disini adalah tempat terbaik selain taman bunga kerajaan. Walau tidak bisa mencicipi camilan yang dibuat, tetapi mencium aromanya saja sudah lebih dari cukup. Siapa juga yang berani memakan makanan bagi Pangeran Anusapati dan tamunya, yaa kecuali Nyi Ratri karena dia yang bertugas memeriksa makanan sebelum disajikan.

Menjelang sore hari Dursa berjalan tergesa - gesa ke arahku yang sedang memotong pisang kepok untuk dijadikan bahan menu berikutnya. Alisku bertaut memandangnya "Ada apa ?" Tanyaku sesaat setelah dia medekat.

Menghembuskan napas cepat berkali - kali sambil memegang sebelah pinggangnya. Memang Dursa itu bertubuh gempal, jadi buatnya berjalan terburu - buru dari pendopo Pangeran Anusapati hingga ke bagian belakang pendopo pelayan itu mungkin melelahkan " Itu ... huh ... kau ... huh ..." Mencoba berbicara walau napasnya tinggal satu - satu.

Menahan tawa "Ambil napas dengan benar dulu, baru bicara Dursa."

Meminum air yang ada di sebelahku dengan cepat "Ah ... segarnya"

"Astaga, aku menyuruhmu mengambil napas ... Eh ... malah kau mengambil minum" Menggelengkan kepalaku pelan

"Aku haus, Rengganis. Huh ... Huh ... Kau tahu aku harus berjalan ter__ terburu - buru menuju kemari "

"Dan untuk apa kau terburu - buru kemari, Dursa ?"

"Itu ... itu ..." Ucapnya sambil mengatur napas yang mulai normal

"Itu kodok maksudmu ?" Tanyaku menyeringai saat melihat binatang hijau kecolatan melompat - lompat riang di rumput mendekati kaki Dursa

"iiiiiiiiiiiiiiiiihhhhh ... jijik"

"Plaaaaak"

Menutup mataku sekilas menahan sakit dan panas di bahuku karena pukulan reflek Dursa. Bukan melebih - lebihkan, tapi dengan ukuran tubuhnya maka pukulan ringan versi Dursa rasanya sudah mirip smash atlet voli.

Sebenarnya wajar Dursa kaget karena memang dia takut kodok "Kenapa kau memukulku ? Kau seharusnya memukul kodoknya, bukan aku !" Protesku sambil mengelus - ngelus bekas penganiayaan ringan barusan. Sedangkan para pelayan lain termasuk Nyi Knasih hanya menggeleng - gelengkan kepala menatap tingkah konyol kami.

"Salah siapa ? Kau sih menakutiku" Ucapnya sambil naik ke atas dipan dan mengangkat kaki jauh - jauh dari rumput

"iiishhh ... siapa juga yang menakut - nakutimu. Kodok itu mungkin rindu ingin bertemu ibunya, karena dari tadi dia tidak muncul, tapi saat kau datang dia baru muncul " Jawabku menyeringai lagi

SINGASARI, I'm Coming! (END)Where stories live. Discover now