Kereta dan Mereka

310 97 9
                                    

Mbah Nom melipat-lipat kerinduannya menjadi kertas-kertas pecahan seribu rupiah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mbah Nom melipat-lipat kerinduannya menjadi kertas-kertas pecahan seribu rupiah. Dalam ikatan karet, diselipkannya setumpuk uang itu di pinggang kebaya yang walau lusuh tetap memberi cerlang bagi petang usianya.

Kendati terlihat tebal, nyatanya seratus ribu belaka totalnya (di mata para anggota dewan tentu sekadar selembar yang kalau raib tidak apa-apa). Padahal bagi Mbah Nom pribadi, lembar-lembar kristalisasi keringatnya itu bermakna: tidak apa-apa makanku setengah piring sehari sekali, yang penting hasil jualan kueku dapat cepat ditukar dengan tiket Kereta menuju Utama.

Sepeninggal sang suami, Utama memang menjelma kayu bakar bagi terungku kehidupan Mbah Nom. Putra semata wayangnya itu bertahun-tahun lamanya bekerja di perantauan, entah sebagai apa, di sebuah moda transportasi pemerintah (yang bagi para anggota dewan menjelma wahana, tempat untung tersikat tangan hanya dengan bersilat tanda tangan).

Maka senja ini, berangkatlah Mbah Nom menaiki Kereta, dengan kesadaran purna dirinya jelata semata.

Sebab, dalam Kereta yang mengesankan bila modernisasi telah memarakkan budaya bersendiri-sendiri, Mbah Nom dibiarkan tak beroleh kursi. Kaki rentanya dibiarkan berdiri gemetar melawan apatisme Kereta dan Mereka.

Mereka laki-laki dan perempuan yang jauh lebih muda dibanding Mbah Nom, namun di hatinya keriput bersimaharajalela. Mereka manusia yang menghabiskan sibuknya dengan terus duduk (persis para anggota dewan yang berebut kursi, tetapi setelahnya lupa berfungsi).

Tak seorang pun sudi bertukar posisi dengan Mbah Nom yang sudah mulai limbung berpegang pada tiang besi. Betapapun, Mbah Nom justru tak tengah memintal benci. Kerinduannya kepada Utama jauh lebih kental lagi. Ia memilih bertahan hingga tiba nanti.

Ketika Kereta menggapai stasiun tujuan, Mereka berhamburan bersikut-sikutan hendak keluar lebih dulu, seolah waktu adalah hulu segala tuju. Dibantu masinis yang bersikap manis, Mbah Nom pun turun sebagai penumpang terakhir.

Malam itu di peron stasiun, Mbah Nom mengamati Kereta lanjut memelesat, meninggalkan dirinya yang luput menyadari bahwa sang masinis adalah Utama, dan bahwa seluruh penumpang membayar tiket dengan harga yang sama.

Bangsaku & Bank Saku {Wattys Award Winner}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang