Oi

2.9K 465 16
                                    

Di luar senyap. Pertokoan kebanyakan tutup. Jalanan kota Oslo, terutama yang membentang dari Oslo Central Station hingga Norwegian Royal Pallace, kehilangan denyut nadi. Begitupun objek tersohor seperti National Theatre, Palace Park, dan Spikersuppa. Musim dingin tak membebaskan matahari untuk unjuk gigi.

Bagi penduduk kota dengan biaya hidup termahal kedua setelah Tokyo tersebut, tidak ke mana-mana dianggap opsi terbaik, terlebih bagi para pendatang. Lain halnya penduduk asli, berbekal pakaian serbatebal dan vitamin D mereka memadati pinggiran Oslo, meliuk-liuk menuruni perbukitan salju, membakar kalori dengan berski ria. Selebihnya, merumahkan diri. Melemparkan balok-balok kayu ke perapian. Menamengi tubuh dengan berlapis-lapis kain. Meringkuk menghadap TV seraya menyeduh kopi ataupun cokelat panas. Tinggal memilih: program iklan perkakas dapur, serial spesial merajut, atau tayangan live membakar kayu 12 jam nonstop. Sebatas itulah hiburan selagi Polar Night bersuhu -13 ⁰C sebagaimana pagi ini.

Angka yang sama tertera pula pada termometer di sudut ruang salah satu rumah berdesain kaku berwarna merah bata. Sumanto meletakkan gagang telepon itu kembali. Salah seorang sahabatnya, dari Indonesia, barusan menghubungi, mendesaknya menjadi pembicara di sebuah simposium di Solo bulan depan. Meninggalkan espreso dengan uap yang masih mengepul di meja kerjanya, Sumanto melangkah mendekati jendela, merapatkan mantel, menatap sendu salju yang berjatuhan. Kulit sawo matangnya kontras dengan visual pucat di luar.

Sumanto terkenang tangis haru orang tuanya, yang melepasnya di bandara, ke Skandinavia demi mengejar cita-cita. Seorang bocah kampung, akrab dengan sungai dan sawah, mengenyam pendidikan hingga kini jalan strata tiga, beasiswa penuh bahkan. Ibu kota Norwegia menyediakan bahan bakar impiannya. Materi, intelektualitas, prestise; hanyalah angan andai kata dahulu ia berpuas diri di tanah kelahiran.

Sumanto mengusap sejejak embun pada kaca jendela hingga melumeri sela-sela jemarinya. Masih, pupil hitamnya menyorot kenyamanan dari salju yang turun semakin deras. Di seberang jalan, barisan cemara memasrahkan daun-daunnya menguncup serupa jarum-jarum. Di meja kerjanya, telepon kembali berdering. Panjang....

Bangsaku & Bank Saku {Wattys Award Winner}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang