Beruang (Part 3)

146 35 8
                                    

Demi mencegah penularan, akses dari dan ke dalam kota pun ditutup

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Demi mencegah penularan, akses dari dan ke dalam kota pun ditutup. Penduduk kota itu, yang semuanya telah buta dan terus melolong-lolong sampai serak, terpaksa diisolasi. Untuk sekarang, Pemerintah Pusat hanya dapat mengirimkan logistik secara berkala, menunggu investigasi yang masih dilakukan.

Wabah buta dan melolong-lolong akibat uang tersebut, dalam seminggu pertama, berhasil dirahasiakan. Namun, seiring arus distribusi logistik yang semakin sering, lantaran para penduduk terjangkit berubah lebih konsumtif, terjadilah kebocoran informasi. Hingga puncaknya, sebulan kemudian, bukan cuma satu negara yang mengetahui, tetapi juga dunia.

Dunia awalnya menganggap wabah tersebut sebagai lelucon, sebagaimana citra negara itu yang memang dikenal sedikit-sedikit bercanda. Namun, ketika wabah di kota itu turut menaikkan angka kematian penduduk terjangkit, dunia mulai khawatir. Terlebih, investigasi menemui kebuntuan. Pemerintah Pusat, juga Presiden, didesak untuk segera merumuskan solusi terbaik supaya, dalam jangka pendek angka kematian dapat ditekan, dan dalam jangka panjang wabah itu dimusnahkan.

"Saya punya ide," ungkap Presiden di rapat terbatas pagi ini. "Kita tak mungkin terus-menerus mengirim logistik ke sana. Bisa-bisa habislah anggaran."

Seorang menteri merespons, "Jadi kita mesti mengirim apa?"

"Sesuatu yang tidak membahayakan keuangan negara."

"Apa itu?" sahut menteri yang lain.

Presiden, dengan percaya diri, menjawab, "Manusia."

Seluruh hadirin di rapat itu terperanjat, menatap tak percaya kepada Presiden.

Rapat berlanjut dalam keheningan, tak seorang pun berani menyanggah, sampai akhirnya Wakil Presiden buka suara, "Saya tidak setuju."

Presiden melotot kepada wakilnya.

"Sejak wabah ini diidentifikasi," jelas Wakil Presiden, "kita sepakat bahwa prioritas pertama adalah manusia. Penduduk. Rakyat. Kita bahkan mengerahkan anggaran lebih untuk menyuplai logistik ke sana dengan jasa robot, demi meminimalkan kontak manusia. Kita tak ingin ada lebih banyak korban berjatuhan."

Presiden, tak pelak, terbahak. "Apa lagi jalan keluarnya, hah?"

Hadirin bergeming.

"Waktu kita tidak banyak," lanjut Presiden. "Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan sudah mengultimatum kita. Mau ditaruh di mana muka saya sebagai Presiden kalau sampai tak becus menyelesaikan ini, hah?!"

Wakil Presiden mencetus, "Wabah ini tanggung jawab kemanusiaan. Kita--"

"Justru itu!" potong Presiden dengan geram. "Justru karena perkara kemanusiaan, manusia harus dilibatkan!"

Perdebatan sengit antara Presiden dan wakilnya berkembang tanpa memperoleh kejernihan. Sampai tak terasa tibalah waktu makan siang, mereka kelaparan, dan rapat terpaksa diakhiri dengan kemenangan jatuh kepada Presiden.

Besok, sebuah tim yang beranggotakan sejumlah profesional akan dikirim ke kota wabah tersebut. Tim itu, alih-alih ketakutan dan menolak, justru tersanjung, merasa terhormat ditunjuk langsung oleh Presiden. Namun, seahli apapun mereka, tak ada yang benar-benar mengenal medan pertempuran dan risikonya. Kematian? Bukan tidak mungkin sesuatu yang lebih buruk.

(bersambung...)

Bangsaku & Bank Saku {Wattys Award Winner}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang