Yth.

1.2K 196 26
                                    

Kami tinggal di sebuah gua dua pintu, berbahan tulang berlapis kulit. Mungil menurut kalian; raksasa bagi kami. Atap dan dindingnya kering, kadang berminyak, sementara rongga dalamnya lembab. Warnanya bervariasi tergantung ras. Gelap sampai terang. Halus atau kasar. Beberapa berhiaskan komedo. Yang terpenting, tersedia kehangatan, keamanan, serta perkasa terhadap flu. Rumah kami bernama hidung.

Kami lahir dari interaksi partikel asing dengan selaput lendir. Kami tak beribu juga berayah. Namun kami menganggap kehangatan sebagai ibu; rambut-rambut halus sebagai ayah. Lantaran gua tersebut dianugerahi cuma-cuma, kami berterima kasih senantiasa. Jika kalian diamanahkan menjaga hutan selaku paru-paru dunia, kewajiban kamilah menjaga paru-paru kalian. Di garda terdepan.

Dalam gua kami dibesarkan, hingga Dewasa atau Mati. Ketika kewajiban kepada paru-paru terlunasi, salah satu jari tangan kalian (semoga kelingking, jangan jempol) bakal menjemput. Menjumput, tepatnya. Kami Dewasa, apabila jari itu sopan mengetuk pintu tepat waktu. Kami Mati, apabila jari itu sembrono datang kepagian (atau keseringan), terlampau yakin bahwa kami sudah mewujud tiruan sebutir nasi.

Mayoritas kalian jelas risi bila mengasosiasikan nasi dengan kami. Meski fisik 11-12, kami dan nasi kentara berbeda. Nasi putih, kami hitam. Nasi wangi, kami tengik. Nasi dibutuhkan, kami disingkirkan. Nasi malaikat penumpas kemelaratan, kami iblis penghempas kehormatan. Namun, tidak demikian halnya Yang Terhormat. Di hidungnya, kami dapat hidup berbahagia.

Yang Terhormat memperlakukan kami seistimewa nasi. Bukan disantap, maksudnya. Beliau mengagumi kami. Kami pun, tak bisa untuk tak berhenti menyayanginya. Dari dalam gua, kami menyaksikan kumis dan bibir beliau bertutur sedemikian rupawannya. Merdu, bijak, jujur teramat.

Beliau dijuluki Yang Terhormat sejak menjadi korban salah tangkap. Dipenjara seumur hidup atas kejahatan yang tak pernah diperbuat. Mirisnya, kebenaran baru terungkap setahun setelah beliau meninggal, dalam tidur lelapnya di sel. Ketika beliau mengembuskan napas terakhir, tanpa merepotkan kelingkingnya yang ramah, kami pun keluar dari gua. Dewasa.

Terharu. Yang Terhormat membuat kami merasa terhormat walau hanya sebagai upil.

Bangsaku & Bank Saku {Wattys Award Winner}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang