Sambalewa

2.8K 423 31
                                    


"1.708!"

Tohor terdampar dari awan lamunan bermuatan panorama uang pensiun sebab nomor antreannya disebut.

Diliriknya arloji; 19.45. Ia mengangguk sopan kepada mereka yang masih menunggu giliran dipanggil—yang beberapa dikenalinya sebagai caleg—kemudian menghampiri wanita berpenampilan suster di meja resepsionis.

"Baru pertama kali ke sini, Mas?" Wanita itu menyodorkan selembar kertas.

Tohor mengiakan, tetap berkutat membendung kegelisahan. Tuntas mengisi biodata, diserahkannya segepok uang.

Wanita itu menunjuk ruang di sebelah kiri. "Bawa perekam suara?"

Tohor mengangguk.

"Jangan sentuh benda-benda milik Baginda di dalam sana."

Tohor menelan ludah. Ia bersemuka dengan pintu baja berplakat "dr. Akula, Spesialis—"

Ah, tak baik membiarkan keragu-raguan melembaga. Ia telah berkendara sejauh ini dan, beres dari sini, harus langsung pulang guna mempersiapkan ujiannya besok. Selaku bakti kepada orang tua, betapa ingin dikenakannya seragam warna khaki yang gagah itu.

Tohor menghela-embuskan napas, dan masuk.

Semerbak daging terbakar menyambut.

Ditutupnya pintu.

Tak ada ranjang pemeriksaan berikut tirai hijau yang lumrahnya menyertai. Tak tampak alat-alat peraga anatomi, lemari obat-obatan, maupun poster-poster kesehatan. Tembok, lantai, plafon; seluruhnya kelabu. Polos. Tanpa jendela. Hanya pijar bohlam oranye dan desis AC-lah yang mengonfirmasi eksistensi.

Tohor segera menduduki kursi yang menghadap meja bertaplak hitam. Terdapat pula sebuah kendi.

Di seberang meja, duduk seorang lelaki tua berwajah terang dan berambut klimis. Bahu lebarnya dibalut jubah selegam arang, berkerah tinggi semerah darah.

"Malam." Baginda tersenyum, menampakkan sederet gigi putih dengan taring teramat runcing.

Tohor merinding.

"Maksud kedatangan?"

"Mo-mohon dilancarkan tes CPNS, Baginda."

"Kidal?"

"Bu-bukan."

"Kemarikan telapak tangan kanan."

Tohor memasrahkan saja gurat-gurat centang perenang itu digencet-gencet sedemikian rupa oleh jari-jari tangan Baginda yang di masing-masingnya disusupi cincin giok warna-warni.

Sesi palmistri tersebut berakhir sewaktu Baginda berucap, "Dengar baik-baik."

Tohor hendak menekan record pada perekam suara, ketika tanpa sengaja disenggolnya kendi tadi. Kemejanya sontak dibanjiri keringat. "Ma-maaf, Ba-ba—"

"Itu abu jenazah saya yang baru dikremasi kemarin!" 

Bangsaku & Bank Saku {Wattys Award Winner}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang