Beruang (Part 5)

170 40 7
                                    

Mendengar suara mencurigakan tersebut, mereka berembuk sebentar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mendengar suara mencurigakan tersebut, mereka berembuk sebentar.

"Wekawekaweka!" kembali, malah semakin nyaring.

Keputusan pun diambil. Mereka bakal tetap masuk. Siapapun yang berada di ruang rapat gedung Pemerintah Daerah saat ini, apapun risikonya, patut diselidiki.

Polisi, yang berbadan paling besar, memimpin. Mereka membentuk formasi; angka-angka pada jam analog. Polisi berdiri pada angka 12, Akuntan pada angka 9, Agamawan pada angka 3, dan Sastrawan pada angka 6. Karena bertubuh paling kecil, tetapi IQ-nya paling tinggi di antara rekan-rekannya, Ilmuwan ditempatkan di tengah-tengah.

"Sebelum masuk, mari kita berdoa memohon keselamatan," ujar Agamawan. "Berdoa dimulai." Mereka khusyuk menundukkan kepala. "Selesai."

Dengan bambu runcing teracung, mereka lekas bergerak maju. Mengendap-endap, waspada, melompati rangka gerbang yang telah roboh. Lancar, sejauh ini. Terlepas dari suara mencurigakan di dalam, situasi masih terkendali.

Sampailah mereka di pintu masuk, kemudian lobi. Dan, seketika syok.

Pakaian hazmat-mirip-astronot mereka memang sanggup menangkal bau, tetapi mata jelas tak bisa membantah. Visual di hadapan membuat kelimanya mual, sekaligus ngeri.

Polisi, dengan tercekat, bersuara, "Aparat keamanan."

Pada genangan darah yang mengering, tampak mayat-mayat bergelimpangan, mulai membusuk, dikerubungi belatung dan burung-burung liar.

"Perhatikan itu," desis Akuntan, menunjuk apa yang diperbuat burung-burung liar itu. "Seluruh saku di pakaian aparat keamanan dipatuk-patuk begitu."

"Mencari barang berharga mungkin?" celetuk Sastrawan. "Uang?"

"Saya tahu berapa gaji aparat keamanan ini," Akuntan menyanggah. "Jumlahnya kecil, pun mereka dilarang membawa uang saat bekerja."

Yang lain mengangguk-angguk, mengerti.

Karena penasaran, Sastrawan beranjak ke mayat terdekat. Tangannya hendak memeriksa kondisi saku yang robek, tepat ketika Ilmuwan menyikutnya. "Jangan sentuh langsung!" tegas Ilmuwan.

"Sepertinya kita harus ambil sesuatu dari mayat-mayat ini," Polisi mengusulkan. "Sebagai barang bukti."

"Baiklah," angguk Ilmuwan. "Saya akan ambil sampel potongan kain saku saja. Sebentar."

Ilmuwan menjalankan tugasnya, sementara yang lain berjaga mengawasi.

"Sudah," lapor Ilmuwan.

"Kalau begitu apa kita bisa langsung ke dalam?" Polisi celingak-celinguk.

Yang lain mengangguk. Maka, dengan formasi dan langkah yang sama, mereka akhirnya tiba di dalam ruang rapat, yang ternyata: kosong.

Anehnya, tidak seperti keadaan lobi yang mengenaskan, di ruang rapat mereka hanya menemukan meja dan kursi yang berhamburan. Serta, tidak ada orang.

"Di sana!" Akuntan menunjuk ke langit-langit.

Pada lampu gantung kristal supermahal di atas, bertenggerlah seekor burung beo, yang bercuap, "Wekawekaweka!"

Tanpa bisa ditahan, kelimanya sontak saja terbahak.

"Sudah. Sudah. Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik," Agamawan menasihati.

Kembalilah mereka berembuk. Hari beranjak sore, tetapi belum juga ada titik terang. Mereka harus segera memutuskan.

"Sepertinya saya tahu ke mana larinya para wartawan dan pejabat," ungkap Sastrawan.

(bersambung...)

Bangsaku & Bank Saku {Wattys Award Winner}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang