BAB 10| Hujan sore

18.3K 1.7K 166
                                    

Aroma tanah dan rintik air yang membasahi tempatnya berpijak mulai berbaur. Percikan air dari sekitar kakinya membuat sepatu serta celana sekolah yang ia pakai menjadi basah.

Sore ini, laki-laki berpostur tinggi dengan kulit putih itu berdiri menatap sebuah nisan yang masih bersih terawat di hadapannya. Ia merunduk meletakan sebuah bunga mawar putih di atas makam sang kekasih.

"Happy Anyversary Na,"

Laki-laki dengan name tag Divel Vanderantio itu menatap nisan di hadapannya dengan tatapan sendu. Ada perasaan sakit yang sulit di ungkapkan dengan kata-kata.

Perasaan sesak tepatnya. Sejak tahun itu dunianya sudah di ambil. Orang yang ia sayang pergi meninggalkannya tanpa pamit yang baik, meskipun Divel tahu tidak akan ada perpisahan yang tidak menyakitkan.

"2022 udah habis Na."

"Dan rindu gua gak pernah kurang sedikitpun."

Tatapannya bergetar, sekuat apapun Divel menahannya. Tentang Syabina selalu membuatnya menjadi seperti orang paling lemah, paling rapuh saat sadar alasan untuk dirinya hidup sudah hilang.

Ia bersimpuh, tidak peduli dunia akan mengatainya seperti apa, lemah? cupu? Silahkan, yang Divel mau bukan pengakuan atau apapun.

Ia mengusap nisan itu dengan lembut. "Maaf karena gagal ngejaga lo."

Dan pada akhirnya hujan menutupi air mata yang turun. "Gua mohon kembali."

Tapi selama apapun dia diam di sana, sebanyak apapun dia meminta dan berharap, Divel hanya bisa memendam rindu tanpa suara. Tidak ada yang bisa menolongnya dari rasa sakit ini. Seakan semuanya mendukung Divel untuk merasakan rasa sakit yang tidak ada penawarnya, yang tidak akan pernah sembuh dan tidak akan hilang sampai kapanpun. Karena yang sudah pergi tidak akan kembali.

"Maaf gak bisa bahagiain lo."

"Maaf.."

Satu menit lamanya Divel diam di sana dengan kata maaf yang terus ia ucapkan. Tidak ada yang bisa ia lakukan lagi bagi Syabina. Semesta sudah memeluk jiwa yang ia rindukan itu, mengajaknya berbaur dengan bumi dan meninggalkan duka yang sampai sekarang tidak pernah sirna.

Pada akhirnya Divel bangkit, ia berbalik seraya berjalan dengan air mata yang masih meluruh. Langkah demi langkah ia lewati, cowok itu menengadah merapatkan matanya. Bahkan tubuhnya basah, tapi Divel membiarkannya.

Cowok itu berhenti dan membalikan tubuhnya menatap makam sahabatnya. Di titik ini, sakit yang ia rasakan sudah tidak terdefinisi, seperti ada yang menggerogoti dadanya dan mencabiknya tanpa aturan.

Air mata Divel menetes lagi, ingin menyangkal bahwa orang-orang paling berharga dalam hidupnya sudah pergi.

"Gua pulang, Gib." Ucap Divel.

Cowok itu segera menyalakan motornya dan melesat dari sana menuju suatu tempat terakhir yang bisa meredakan lukanya, Wabyo.

***

Setelah pelajaran sekolah usai, Raksa mengajak Alda untuk mampir ke Wabyo sebelum pulang. Berhubung hari belum terlalu sore dan cuaca sedang hujan jadi Alda memilih menyetujui ajakan pacarnya.

"Woy Bos! Awas anak orang harus di balikin, jangan maen ambil aja ntar bapaknya marah." Saut Kenzo dari dalam.

Di Wabyo hanya Ada Galuh, Arza, Kenzo dan Banu. Divel dan Giana belum datang karena urusan mereka masing-masing.

"Aelah Jo, Raksa udah jadi mantu bapak neng Alda gak bakalan ngamuk. Kalo neng Alda di bawa lo baru deh ngamuk. Masuk akal juga soalnya lo jelemaan setan."

ARUNIKA [END]Where stories live. Discover now