BAB 20| Amigdala

15.2K 1.6K 397
                                    

"Ada yang mencintai dan ada yang menghargai. Bedain itu, Al."

Sebuah kalimat yang ia dengar di atas jembatan penyeberangan kemarin masih terus berputar di kepalanya.

"Ingat, otak kita itu seperti superkomputer yang kuat."

"Para ahli mengungkapkan bahwa otak manusia mampu menyimpan sekitar 7 ingatan jangka pendek sekaligus dalam waktu 20 sampai 30 detik." Pak Bagas, guru mata pelajaran biologi yang saat ini masih bertele-tele di depan kelas memberikan penjelasan soal sistem saraf sejak satu jam lebih yang lalu.

"Ada tiga jenis sel saraf, yaitu sensorik, motorik dan otonom. Apa ada yang mau menjelaskan?"

Bodo amat dengan jenis saraf yang baru saja ia dengar, Alda tidak butuh itu. Bahkan dari sekian materi tentang neuron yang Alda pelajari di sekolahnya, tidak ada yang menjelaskan kenapa pikiran manusia bisa berpusat pada hal yang jelas-jelas lebih menyebalkan untuk dipikirkan.

Alasan yang lebih menyebalkan lagi, sejak tadi tidak ada bagian otak yang bisa memberikan jawaban kepada Alda kenapa dua orang penghuni meja belakang yang terkenal bagai kutub berlawanan di kelasnya itu absen lagi. Raksa dan Gevariel, perwujudan rivalitas.

"Seiring dengan waktu, ingatan jangka panjang akan dipindahkan ke bagian neokorteks. Nantinya neokorteks akan bekerja sama dengan amigdala. Kalian tau amigdala?"

"Amigdala adalah area otak yang bertanggung jawab untuk mendefinisikan dan mengendalikan emosi. Bentuknya persis seperti kacang almond, letaknya berada jauh di dalam lobus temporal." Saut Raffa membuat sesisi kelas mengangguk paham. Penjelasannya singkat tapi sangat terdeskripsi.

Pak Bagas mengangguk puas. "Ya benar sekali. Amigdala itu bagian otak yang membantu memproses emosi kita seperti rasa takut, bahagia, sedih, dan emosi-emosi lainnya yang berperan dalam ingatan."

Alda menegakan tubuhnya. Jadi Amigdala, ya?

"Sial, kalo gini caranya lebih baik gua gak punya amigdala aja." Batin gadis itu menggerutu kesal.

Emosinya sejak pagi cukup sensitif. Tidak fokus pada penjelasan materi gadis itu malah mengetuk-ngetuk ujung puplennya pada meja dengan tempo pelan yang kemudian berubah semakin cepat hingga iramanya cukup mengundang atensi anak-anak kelas.

Pak Bagas sontak menghentikan pembicaraannya dan menatap salah satu muridnya yang saat ini tengah menelungkupkan kepalanya pada meja, seraya sibuk mengetuk meja dengan ujung pulpen tanpa henti.

"Pagi, Pak."

Pintu kelas terbuka membuat perhatian mereka tertuju ke sana. Seperti biasa, berandalan sinting Padja Utama itu sengaja datang di jam sebelum istirahat. Mungkin akan lebih maklum lagi jika cowok itu datang hanya untuk bolos dan mencetak poin pelanggaran baru di buku BK.

Alda menatap ke arah pintu di mana Raksa baru saja datang. Dari yang ia lihat baju seragam cowok itu memang tidak pernah rapi, kancing seragamnya sengaja di buka digantikan dengan dalaman kaos hitam yang cukup membuat Pak Bagas harus menghela napas.

"Ini bukan pagi, Raksa. Sudah siang." Ujar Pak Bagas.

"Iya maaf, selamat siang pak." Ujar Raksa membuat anak kelas seketika terkekeh.

Arza dan Kenzo yang melihat ketuanya datang terlambat hanya diam. Bahkan Raksa tidak memberi mereka kabar apapun di grup pesan sejak kemarin malam.

Sedangkan Raffa hanya menatap datar pada kembarannya di sana. Malu-maluin aja.

"Jam mengajar saya sebentar lagi selesai. Mau masuk atau berdiri di luar?"

Kanagara bermata elang itu melangkah masuk. "Jawab pertanyaan, Pak."

ARUNIKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang