1 | Ditunjuk

1.6K 117 23
                                    

- UPDATE SETIAP HARI KAMIS & JUM'AT
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Membaca pesan dari Zuna dan melihat foto yang dikirimkan oleh pria itu, membuat Diana terdiam di halaman rumahnya selama beberapa saat. Ia benar-benar membatalkan niatannya masuk ke mobil ketika tahu siapa yang baru saja ditemukan tewas di SMP GENTAWIRA. Helmi dulunya adalah teman sekelas Zuna dan Diana. Dia dulu juga akrab dengan Kalingga, karena tempat duduk mereka saling berdekatan. Ia baru tahu kalau ternyata bukan hanya Mita yang menjadi Guru di SMP GENTAWIRA. Helmi juga menjadi Guru di sana dan entah siapa lagi yang mungkin menjadi Guru di sekolah itu, alumni yang berasal dari angkatan Zuna.

DIANA
Kematiannya akibat gantung diri? Dia bunuh diri, Zu?

Diana segera masuk ke mobilnya setelah mengirim pesan itu. Ia duduk di kursi pengemudi, namun tak juga segera menyalakan mesin mobilnya. Perasaannya menjadi tidak enak dan kepikiran soal Zuna yang harus mengusut kasus kematian Helmi sendirian.

"Kenapa aku mendadak merasa tidak tenang seperti ini? Kenapa Helmi harus mendadak ditemukan tewas? Kalau dia mau bunuh diri, kenapa dia memilih bunuh diri di sekolah?" batin Diana.

Di SMP GENTAWIRA, Zuna saat ini sedang berhadapan dengan Rudi Herbowo. Laki-laki itu adalah alumni SMP GENTAWIRA satu angkatan dengan Zuna dan bahkan mereka dulunya satu kelas--termasuk dengan Diana. Rudi kini menjabat sebagai Kepala Sekolah di SMP GENTAWIRA, dan tampaknya semua Guru begitu takut kepada Rudi sehingga tidak ada lagi yang mau memberikan keterangan pada Polisi.

"Apalagi yang harus diusut, Pak Zuna? Kita semua sudah melihat kalau Pak Helmi meninggal dunia karena gantung diri. Itu tandanya dia membunuh dirinya sendiri. Jadi apa lagi yang harus diusut?" tanya Rudi, berusaha menghalang-halangi langkah Zuna.

Mita--mantan kekasih Zuna--dan Beni--mantan Ketua Kelas di kelas mereka dulu--hanya bisa menatap dari jauh tanpa bisa memberi bantuan apa pun. Mereka benar-benar takut pada Rudi yang selalu saja punya kuasa atas sekolah itu, sejak dia menjabat sebagai Kepala Sekolah beberapa tahun lalu. Rudi tidak pernah melepaskan siapa saja yang membuatnya kesal atau membuatnya tidak suka akan suatu hal. Rudi akan memberi pelajaran yang tidak akan dilupakan, sehingga membuat semua orang tidak mau berurusan dengan Rudi.

"Jasadnya memang tergantung dan penyebab kematian disebabkan oleh asfiksia atau kehilangan jalan nafas. Tapi bukan berarti Almarhum Pak Helmi bunuh diri, Pak Rudi. Bisa saja ada seseorang yang membunuhnya dan membuatnya seakan melakukan bunuh diri. Maka dari itulah kami dari pihak kepolisian akan meninjau lebih jauh mengenai perkara ini. Kami pun membutuhkan kesaksian dari semua Guru, tentang siapa saja yang tahu soal Almarhum Pak Helmi yang akan pulang larut malam seorang diri dari sekolah ini," jelas Zuna, masih berusaha tenang meski Rudi terus saja mencoba membuatnya pergi dari sekolah itu.

"Semua Guru tahu soal itu, Pak Zuna. Termasuk saya sekalipun juga tahu soal itu. Kalau memang anda merasa Pak Helmi dibunuh oleh seseorang, apakah itu artinya anda akan menuduh kami semua yang tahu bahwa dia akan pulang larut malam sebagai tersangka?" tanya Rudi, jauh lebih keras.

"Saya hanya berupaya mencari kesaksian, Pak Rudi. Tidak ada niatan sama sekali untuk menuduh seseorang ketika kami berusaha mencari informasi. Jadi ...."

"Jadi alangkah baiknya anda segera saja membawa jasad Pak Helmi dari sini, agar semua orang tidak lagi merasa ngeri dengan tindakan bunuh diri yang Pak Helmi lakukan! Apakah anda tidak paham kalau kami semua di sini merasa malu jika sampai ada orangtua murid yang tahu mengenai Guru yang melakukan bunuh diri di sekolah?" desak Rudi.

Ponsel milik Zuna berdering. Panggilan dari Septian membuatnya segera mengangkat telepon itu. Ekspresi wajah Rudi tampak seakan sedang mengejek ke arah Zuna, entah apa penyebabnya.

"Halo, Pak. Saat ini saya sedang ...."

"Mundur, Pak Zuna. Mundurlah untuk saat ini," perintah Septian, terdengar sangat darurat.

Pria itu segera memutus sambungan telepon. Kesabaran Zuna saat itu benar-benar sudah sampai pada puncaknya. Ia merasa geram karena Rudi terus saja menghalang-halangi langkahnya untuk mencari informasi dari Guru-guru di sekolah itu, bahkan hingga Septian memberi tanda darurat padanya di tengah-tengah berjalannya penyelidikan. Hal itu jelas merupakan sebuah tanda kalau Rudi sudah melakukan sesuatu yang bisa mengancam orang-orang di kepolisian.

"Dengar Pak Rudi, cepat atau lambat saya pasti akan kembali lagi ke sini dan melakukan penyelidikan lebih dalam. Setelah hasil autopsi atas jasad Almarhum Pak Helmi keluar, maka pada saat itulah anda tidak akan lagi bisa menghalang-halangi pihak kepolisian untuk datang ke sini!" tegas Zuna, dengan ekspresi wajah yang begitu datar.

Zuna segera pergi dari hadapan Rudi, menyisakan Rudi yang menatap penuh amarah ke arah Zuna.

"Dasar orang miskin tidak tahu diri! Baru menjadi Polisi berpangkat rendah saja sudah sombong!" desis Rudi, tidak ingin umpatannya kepada Zuna terdengar oleh orang lain.

Mita berjalan memutar dari depan kantor secara diam-diam. Ia ingin melihat Zuna sekali lagi sebelum pria itu benar-benar pergi dari SMP GENTAWIRA. Perasaannya kembali merasakan debar tak menentu. Tak bisa ditampik, ia merasa rindu dengan sosok pria itu setelah bertahun-tahun tidak pernah bertemu.

"Kenapa begitu singkat pertemuan kita setelah tak bersua bertahun-tahun? Kenapa kamu tidak menatap satu kalipun ke arahku, padahal kamu tahu bahwa aku ada di hadapanmu? Apakah ... kamu masih marah padaku?" batin Mita, bertanya-tanya.

Sesampainya di kantor, Zuna langsung memberi laporan kepada Septian dengan sangat lengkap, termasuk tentang Rudi yang terus menghalang-halangi langkahnya untuk mendalami kasus kematian Helmi yang masih menjadi misteri. Diana juga ada di ruangan itu dan mendengar semuanya. Tidak ada satu pun di antara mereka berdua yang menyela penjelasan dari Zuna, karena mereka sama-sama ingin tahu apa yang terjadi di sana selama olah TKP berlangsung.

"Hm ... itu jelas sangat aneh. Seharusnya Kepala Sekolah lebih antusias ketika Polisi akan melakukan pendalaman kasus kematian Guru yang bekerja di bawah kepemimpinannya. Tapi dia justru berupaya menghalang-halangi, dan bahkan menekankan kalau kematian Almarhum Guru tersebut adalah karena bunuh diri. Dia bahkan sempat-sempatnya menghubungi seorang petinggi agar dibantu menutupi kasus itu. Hal itu jelas tidak boleh kita biarkan," ujar Septian.

Pria itu kemudian beralih menatap ke arah Diana.

"Sekarang jelas ada gunanya kamu tidak saya ikut sertakan dalam pengusutan kasus yang diserahkan kepada Pak Zuna."

"Maksud Bapak?" tanya Diana.

"Ya, ada gunanya kamu kali ini tidak bertugas bersama Zuna. Dengan begitu, di sekolah lama kalian tidak ada yang tahu kalau kamu adalah seorang Polisi seperti Zuna," jawab Septian. "Kamu akan saya kirim ke sekolah itu, Diana. Bukan sebagai Polisi, tapi sebagai Guru pengganti sementara yang akan menggantikan posisi korban."

Zuna kini melirik ke arah Diana. Wanita itu tampak terlihat tenang, meski baru saja mendengar Septian mencetuskan ide yang cukup berisiko.

"Memangnya Bapak yakin, kalau sekolah itu akan mencari Guru baru untuk menggantikan posisi korban?" tanya Diana, sekali lagi.

Septian pun memutar layar iMac yang ada di atas meja kerjanya. Zuna dan Diana pun bisa melihat pengumuman apa yang sedang terpampang pada website SMP GENTAWIRA saat ini.

"Karena itulah aku menunjuk kamu agar bisa berada di sana, Diana. Sekarang, segeralah persiapkan dirimu dan semua hal yang kamu butuhkan untuk penyamaran sebagai Guru Biologi di SMP GENTAWIRA," perintah Septian.

* * *

Rahasia Di SekolahWhere stories live. Discover now