37 | Tragis

858 75 12
                                    

- UPDATE SETIAP HARI KAMIS & JUM'AT
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Pada pukul tiga sore, akhirnya Reza kembali tiba di rumahnya. Zuna kembali mengantarnya, karena Diana harus langsung bertemu dengan Septian setelah jalan-jalan hari itu. Zuna tidak langsung pulang, karena Reza sengaja menahannya agar duduk di teras setelah menyajikan dua cangkir kopi. Mau tidak mau, Zuna akhirnya duduk di teras itu sambil menikmati kopi bersama Reza.

"Kalau boleh jujur, aku masih merasa heran soal betapa beraninya Mita berbicara padamu. Padahal sudah jelas kamu sangat marah padanya, setelah dulu dia menghalang-halangi dirimu yang hendak menyelamatkan Almarhumah Adikmu dari kobaran api. Dia sangat percaya diri dan tampaknya akan selalu begitu, meski kamu tidak menanggapi," ujar Reza.

Zuna segera meletakkan cangkir kopinya ke atas meja, tepat setelah Reza berhenti bicara.

"Dia merasa sangat percaya diri seperti itu karena dulu aku memang benar-benar sayang padanya, Za. Dia pacar pertamaku, meski bukan cinta pertama. Aku sangat dekat dengannya dan selalu memanjakannya saat kami terikat menjadi sepasang kekasih. Mungkin dia pikir, aku akan kembali luluh jika dia terus mencoba mendekat dan kembali bicara denganku. Padahal dia tidak tahu, kalau hatiku sudah mati rasa terhadapnya setelah dia menahanku agar gagal menyelamatkan Rania."

"Boleh aku tahu, bagaimana caranya dia menahanmu waktu itu?" tanya Reza.

Pandangan Zuna tampak begitu datar saat menatap ke arah salah satu pot bunga yang ada di teras. Wahyu mendengarkan obrolan mereka dari dalam sejak tadi, dan semakin ingin tahu lebih jauh karena Reza memiliki teman yang ternyata juga kehilangan anggota keluarganya seperti yang mereka alami.

"Hari itu adalah akhir pekan. Aku memang sedang pergi bersama Mita, Za. Seperti yang kita lakukan tadi bersama Diana, kami berdua jalan-jalan dan berniat pulang sore. Kami hanya berjalan-jalan di sekitar perkebunan yang tidak jauh dari rumahku. Meskipun Mita hari itu sedikit marah-marah karena aku menolak pergi terlalu jauh, aku tetap saja santai menghadapinya karena sudah tahu bagaimana sifat Mita yang selalu saja menuntut untuk dituruti keinginannya," Zuna memulai.

Reza mendengarkan tanpa berani menyela. Zuna tampaknya sedang kembali menyelami ingatan masa lalu yang begitu kelam.

"Tapi kami batal pulang sore. Karena tepat jam sebelas siang, aku mendadak disusul oleh salah satu tetanggaku yang rumahnya hanya berjarak dua rumah. Dia memberi tahu aku, bahwa rumahku terbakar dan kobaran apinya sangat besar. Aku langsung berlari secepat mungkin dari perkebunan tanpa memikirkan keberadaan Mita. Mita ikut lari di belakangku sambil berteriak-teriak meminta diriku agar memperlambat lariku. Aku jelas tidak mendengarkan hal itu dan terus saja berlari sekuat tenaga. Yang ada di dalam pikiranku saat itu hanyalah kedua orangtua dan juga Adikku. Tidak ada hal lain yang bisa aku pikirkan, karena aku sangat takut kehilangan mereka."

"Dan akhirnya kamu berhasil sampai di sana. Apa yang terjadi selanjutnya?" Reza merasa penasaran.

"Hal pertama yang aku lihat adalah kobaran api yang begitu besar telah menghanguskan sebagian besar rumahku. Selanjutnya ... jasad Bapak dan Ibuku sudah terbaring di halaman rumah, karena baru saja berhasil dikeluarkan oleh petugas pemadam kebarakan. Aku shock. Aku shock berat saat menatap jasad mereka, Za. Aku sempat diam saja dengan tubuh gemetar dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Tapi sesaat berikutnya, aku langsung teringat Rania. Aku mendengar suaranya, Za. Dia memanggilku dari jendela kamar yang ada di lantai dua rumah kami. Dia menatapku sambil menangis dan berharap aku akan segera menyelamatkannya. Aku langsung mencoba berlari menuju pintu depan yang penuh kobaran api, karena di samping rumah ada satu tangga besi yang bisa aku panjat agar bisa sampai ke lantai dua. Tapi sayangnya, Mita justru menahan tubuhku kuat-kuat agar tidak bisa sampai ke sana. Siapa pun akan berpikir kalau hal itu Mita lakukan untuk kebaikanku, agar aku tidak ikut terbakar dalam kobaran api. Tapi akulah yang menghadapinya, Za. Aku yang mendengar dengan sangat jelas ketika dia berkata, 'Tidak usah kamu repot-repot menyelamatkan dia. Kalau sudah waktunya dia mati, ya, biar saja dia mati'. Itu yang dia katakan dengan sadar."

Kedua mata Reza membola saat mendengar akhir dari cerita yang Zuna tuturkan. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Mita sangat tidak memiliki empati pada saat itu, sehingga bisa bicara begitu kejam di hadapan Zuna.

"Di--dia bicara seperti itu padamu, padahal tahu kalau Almarhumah Rania adalah Adik kesayangan kamu?" kaget Reza.

"Ya. Maka dari itulah aku tidak bisa memaafkannya sampai detik ini, Za. Bukan hanya karena perkara dia menghalangi langkahku sehingga aku terlambat menyelamatkan Rania dari kobaran api, tapi juga karena dia seakan memang sedang menyumpahi Rania agar segera kehilangan nyawa di hadapanku. Aku tidak bisa melupakan hari itu, Za. Aku benar-benar merasa sakit jika mengingat setiap detailnya," ungkap Zuna, apa adanya.

Kedua pria itu pun sama-sama terdiam. Apa yang Zuna alami adalah peristiwa paling tragis, yang sulit untuk dilupakan jika benar-benar tidak memiliki hati yang kuat. Reza memahami itu, karena dirinya juga merasakan sakit yang sama atas diri Sekar.

"Ah, aku sepertinya lupa waktu, Za," Zuna tersadar. "Sudah semakin sore rupanya. Sebaiknya aku pulang dulu, karena masih ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan di rumah. Aku mau pamitan dulu sama Bapakmu."

"Jam segini Bapakku sedang istirahat, Zu. Nanti akan kusampaikan saja padanya kalau kamu sudah berpamitan untuk pulang," tanggap Reza.

Wahyu paham, kalau Reza tidak ingin Zuna tahu bahwa dirinya sejak tadi ada di ruang tamu dan mendengar pembicaraan mereka. Reza jelas tidak ingin Zuna merasa canggung di hadapan Wahyu pada saat itu.

"Oh, begitu rupanya. Ya sudah, kalau begitu salam saja untuk Beliau. Katakan padanya bahwa aku berterima kasih karena telah diizinkan bertamu serta dijamu dengan baik. Aku pamit dulu, Za. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam, Zu. Mari kuantar," balas Reza.

Reza mengantar Zuna sampai ke halaman yang menjadi tempat parkir mobilnya. Setelah mobil yang Zuna kemudikan benar-benar telah pergi, Reza segera mengeluarkan ponselnya dari dalam saku untuk menghubungi Diana. Ia dengan sabar menunggu Diana mengangkat telepon tersebut, karena merasa ada hal yang ingin sekali ia tanyakan pada wanita itu.

"Halo. Assalamu'alaikum, Za," sapa Diana, ceria seperti biasanya.

"Wa'alaikumsalam, Na. Uhm, kira-kira teleponku saat ini mengganggu kegiatanmu atau tidak? Ada hal yang ingin aku tanyakan padamu soalnya."

"Sama sekali enggak mengganggu, kok, Za. Jangan sungkan begitu kalau memang ada perlu padaku. Tanyakan saja, jika memang ada hal yang ingin kamu tanyakan. Insya Allah akan aku jawab, jika aku tahu jawabannya."

Reza terdiam selama beberapa saat.

"Begini, Na, Zuna baru saja pulang dari rumahku. Kami tadi sempat mengobrol sebentar dan pembahasan kami adalah menyangkut soal Mita, Almarhumah Rania, serta kejadian yang terjadi dimasa lalu Zuna. Yang mau aku tanyakan adalah, kenapa tadi kamu sempat mengatakan pada Mita soal karma yang akan mengejarnya? Kalau boleh tahu, karma apa yang kamu maksud, Na? Kenapa menurutmu Mita akan terkena karma, jika memang ucapanmu ada sangkut pautnya dengan masa lalu Mita dan Zuna?" tanya Reza, benar-benar butuh penjelasan.

* * *

Rahasia Di SekolahWhere stories live. Discover now