58 | Pura-Pura Menyerahkan Pada Zuna

590 62 17
                                    

- UPDATE SETIAP HARI KAMIS & JUM'AT
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Rudi dengan cepat menghadang langkah Diana ketika jam makan siang tiba. Laki-laki itu tidak mau lagi Diana menghindar darinya, karena dirinya merasa Diana memang sedang menghindar sejak kemarin. Diana tersenyum ke arah Rudi seakan tidak ada apa-apa yang terjadi. Meski dalam benak Diana saat ini terjadi gejolak yang hebat akibat kembali mengingat isi kardus milik Rudi yang semalam ia buka, Diana tetap berusaha bersikap rasional jika berada di hadapan laki-laki itu.

"Hai, Rud. Ada apa? Apakah ada hal yang harus aku kerjakan?" tanya Diana.

"Oh ... bukan karena ada hal yang harus kamu kerjakan, sehingga aku menghadangmu seperti ini. Aku ... uhm ... aku ingin bicara sama kamu sejak kemarin. Tapi sepertinya kamu sibuk sekali sehingga sulit bagiku untuk bicara sama kamu. Aku juga sudah berusaha menghubungi kamu melalui telepon, tapi ternyata ponselmu sedang dipegang oleh Zuna dan kamu justru memegang ponsel Zuna," jawab Rudi, apa adanya.

"Ah, iya. Benar juga. Aku memang bertukar ponsel dengan Zuna sejak kemarin gara-gara game yang aku mainkan sering error. Jadinya aku memilih bertukar ponsel dengan Zuna agar bisa memainkan game itu di ponselnya yang selalu lancar jaya tiada hambatan. Maklum, ponselnya jauh lebih mahal daripada ponselku dan kapasitas RAM-nya sangat besar. Jadi aku setidaknya dalam seminggu bisa memakai ponselnya selama dua atau tiga hari," jelas Diana. "Oh ya, kamu memangnya mau membicarakan apa, Rud? Apakah harus sekarang juga bicaranya? Kebetulan aku ada urusan dan harus pergi selama jam makan siang hari ini ke suatu tempat. Ada urusan yang harus aku selesaikan."

"Oh, untuk urusan bicara ... mungkin kita bisa bicara nanti saja. Kalau kamu memang ada urusan yang mendesak, silakan selesaikan urusanmu. Maaf kalau aku menghadangmu seperti ini. Aku enggak tahu kalau kamu ada urusan mendesak," Rudi terlihat tidak enak hati.

"It's okay, Rud. Kita 'kan teman. Mana mungkin, sih, aku merasa terganggu hanya karena kamu menghadang langkahku sebentar. Santai saja," tanggap Diana, seraya menepuk-nepuk pelan pundak Rudi.

Apa yang Diana lakukan jelas membuat Rudi merasa senang. Terlebih senyum di wajah wanita itu sama sekali tidak pernah meredup ketika berbicara dengannya. Perasaan Rudi kembali berbunga-bunga, seakan baru saja mendapat angin segar untuk bisa menjadi lebih dekat dengan Diana.

"Baiklah, Rud. Aku pergi dulu, ya. Nanti kalau ponselku sudah kembali ke tanganku, aku akan kabari kamu," pamit Diana.

"Ya, aku akan tunggu kabar dari kamu. Hati-hati di jalan, Na," pesan Rudi.

Diana hanya mengangguk, lalu segera berbalik dan berjalan menuju mobilnya. Ekspresi yang sejak tadi ia pertahankan berubah dalam sekejap, setelah Rudi tidak lagi melihatnya. Ia benar-benar muak dengan Rudi, namun ia harus bertahan agar aktingnya tidak gagal dan menimbulkan kecurigaan.

Mobil milik Diana melaju pelan dari halaman parkir SMP GENTAWIRA. Ia segera kembali menghentikan laju mobilnya tepat di depan bengkel milik Kalingga beberapa saat kemudian. Kalingga masuk ke mobil itu dengan santai meski langkahnya sejak tadi terus ditatap oleh Sumardi. Seperti yang Diana sarankan semalam, Kalingga sama sekali tidak mengatakan apa-apa pada Sumardi soal rencana mereka. Ia hanya bilang pada Sumardi bahwa siang itu ia akan pergi bersama Diana untuk makan siang bersama.

"Sumardi tidak curiga, 'kan?" tanya Diana.

"Insya Allah dia enggak akan curiga. Hanya saja mungkin saat ini dia sedang menduga-duga apakah kita berdua akan kembali melanjutkan hubungan atau hanya sekedar sedang memperbaiki keadaan," jawab Kalingga.

"Oke. Kalau begitu biarkan saja dia berspekulasi. Yang tahu masalah internal sesungguhnya saat ini hanya kita berdua."

"Zuna enggak dihitung?" Kalingga mengingatkan.

"Maunya sih aku ikut menghitung dia. Tapi karena dia hari ini sedang menghilang dan fokus pada sesuatu hal, jadi kuputuskan hanya kita berdua yang tahu mengenai persoalan pokok yang dilakukan oleh Beni dan Silmi."

Jalanan tidak begitu macet pada hari itu, sehingga membuat laju mobil Diana tidak terhambat sama sekali untuk sampai di restoran Jepang bernama Shinjuku. Diana dan Kalingga segera turun bersama, setelah Diana memarkirkan mobilnya. Mereka kini sama-sama masuk ke restoran itu dan mulai mencari di mana keberadaan Beni serta Silmi. Setelah sekitar lima menit mengawasi keadaan, akhirnya mereka melihat di mana posisi meja yang tempati oleh kedua orang tersebut. Diana segera menarik lengan Kalingga untuk ikut dengannya. Karena di dekat meja yang Beni tempati masih ada meja kosong yang terhalang oleh sekat.

Pelayan datang membawakan menu. Diana segera asal menunjuk pada menu yang tertera di hadapannya. Ia ingin pelayan tersebut segera pergi, agar keberadaannya dengan Kalingga tidak diketahui oleh Beni ataupun Silmi. Diana mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi perekam suara. Ia sengaja menyalakan aplikasi tersebut, lalu menyimpannya di antara sekat dan kursi yang ia tempati. Kalingga tidak bertanya-tanya ataupun protes soal apa pun yang tengah Diana lakukan. Ia lebih memilih mempercayakan semuanya pada Diana, karena Diana jelas sudah lebih berpengalaman dalam memata-matai seseorang.

"Intinya aku enggak mau hal ini sampai bocor ke telinga Diana ataupun Kalingga. Aku mau mereka tetap berpisah seperti yang sudah aku harap-harapkan sejak dulu. Kamu tahu sendiri, bukan, kalau aku merasa sangat tidak suka saat Diana dan Kalingga memiliki hubungan spesial. Dulu aku hanya kalah cepat dari Kalingga, sehingga Kalingga mendapat kesempatan dan kehormatan untuk bisa menjadi kekasih Diana. Sekarang, apa pun yang terjadi, aku tidak mau dia kembali pada Diana. Diana harus menjadi milikku. Harus!" tegas Beni, yang terdengar dengan jelas dari balik sekat.

Diana dan Kalingga saling menatap satu sama lain. Kalingga hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, usai mendengar semua kalimat yang meluncur dari mulut Beni. Sementara Diana, sudah jelas wanita itu merasa marah dan hanya sedang menunggu-nunggu waktu yang tepat untuk meledakkan amarahnya.

Pelayan tiba kembali tak lama kemudian. Semua pesanan disajikan ke atas meja yang Diana dan Kalingga tempati. Setelah pelayan itu pergi, tidak ada satu pun makanan yang disentuh oleh Diana dan Kalingga. Keduanya masih saja fokus pada obrolan di meja sebelah.

"Jadi, kali ini sebaiknya aku melakukan yang lebih daripada dulu, 'kan? Apa yang bagus menurutmu? Menggoda Kalingga terang-terangan di depan Diana, atau langsung saja menjebak Kalingga agar tidur denganku di hotel?" tanya Silmi, sangat blak-blakan.

"Menjebak Kalingga ke hotel dan tidur sama kamu jelas pilihan yang sangat bagus, Sil. Aku setuju dengan ide yang satu itu," jawab Beni, tanpa pikir panjang.

Diana pun meraih kedua mangkuk Mie Ramen yang masih panas, lalu bangkit dari kursinya. Kalingga segera mengikuti langkahnya, karena tahu kalau Diana sudah tidak lagi bisa menahan diri.

BYURRRR!!!

"AAARRRRGGGGHHHH!!! PANAS!!!"

Beni dan Silmi sama-sama meneriakkan hal yang sama setelah Diana menyiram mereka dengan dua mangkuk Mie Ramen. Kalingga menghentikan langkah beberapa pelayan yang hendak mendekat, dengan cara menunjukkan Kartu Identitas Polisi milik Diana yang diambilnya dari tas wanita itu--tanpa terlihat oleh Beni. Beberapa pelayan itu pun segera mundur, mereka memutuskan untuk tidak ikut campur.

"Panas, hah? Wah ... ternyata Iblis bisa juga kepanasan ketika disiram dengan kuah Mie Ramen yang mendidih," sindir Diana, sambil memasang wajah tersenyum penuh amarah.

Beni dan Silmi memucat dalam sekejap saat sadar siapa yang baru saja menyiram mereka. Kalingga mengambil ponsel milik Diana dan mematikan perekam suara yang masih berjalan.

"Tidak usah mengelak lagi. Kami punya bukti langsung mengenai perbuatan gila kalian yang ingin sekali memisahkan kami sejak dulu," ujar Kalingga. "Sekarang bagaimana, Na? Apakah kamu akan membuat tuntutan pada mereka berdua?"

"Ya. Sudah jelas akan begitu," jawab Diana, masih terlihat mengerikan di mata Beni maupun Silmi. "Kirim rekamannya pada Zuna, Kal. Biar Zuna yang berikan pelajaran pada mereka berdua."

Diana memilih tetap mempertahankan aktingnya.

* * *

Rahasia Di SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang