39 | Serangan Mendadak

1K 74 13
                                    

- UPDATE SETIAP HARI KAMIS & JUM'AT
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Diana menyodorkan dua set seragam perawat ke hadapan Zuna tanpa basa-basi. Zuna yang baru saja tiba di rumah setelah singgah dan mengobrol sebentar di rumah Reza hanya bisa memasang wajah penuh tanda tanya. Ia masih belum bisa menebak tujuan yang ada dalam pikiran Diana. Namun tampaknya, Diana merasa kalau dua set seragam perawat itu sangatlah berguna untuk Zuna dan dirinya.

"Apakah kita akan memainkan peranan lain dengan naskah yang baru?" tanya Zuna.

"Naskahnya masih sama, judulnya pun masih sama. Hanya saja kali ini, akan ada peranan baru di dalam peranan yang sedang kita mainkan," jawab Diana.

Kedua mata Zuna membola seiring dengan senyumnya yang terbit perlahan-lahan.

"Oke, tampaknya kegiatan kita akan menjadi semakin menarik," tanggap Zuna. "Jadi, coba jelaskan padaku mengenai peranan baru dalam peranan yang sedang kita jalani saat ini. Jujur saja, Na, aku masih belum terbayang dengan rencana apa pun yang sudah kamu susun diam-diam."

Diana membuka tas miliknya dan memperlihatkan dua buah ID card. ID card itu sama persis dengan ID card para pegawai di Rumah Sakit yang Zuna datangi ketika mengikuti Rudi. Kini, isi pikiran Zuna sudah mulai bisa menebak ke arah pikiran Diana.

"Kita akan menyamar menjadi perawat di Rumah Sakit itu, agar bisa menyusup ke ruangan khusus yang Rudi datangi? Benar begitu, Na?" tebak Zuna.

Diana pun mengangguk. Wajahnya begitu tenang, seakan wanita itu merasa bahwa tidak ada hal yang perlu ditakutkan oleh mereka berdua. Diana tidak akan berhenti meski Zuna mencoba mencegahnya. Ia tahu persis bahwa Diana akan melakukannya sendiri, jika Zuna menolak untuk ikut bersamanya.

"Pak Septian mengatakan padaku tadi pagi, bahwa kita tidak akan memiliki peluang untuk memeriksa Rumah Sakit itu. Ibunya Rudi benar-benar berkuasa di sana dan di belakangnya ada Ayahnya Rudi yang menyokong. Semua tindakan ilegal yang dilakukan oleh Rudi dan Ibunya akan selalu menjadi legal dalam sekejap, jika sampai Ayahnya Rudi turun tangan. Jadi, mau tidak mau, hanya inilah yang bisa kita lakukan untuk bisa mencari tahu tentang apa yang Rudi lakukan di ruangan khusus itu. Entah kenapa aku merasa kita tidak boleh mengabaikan hal yang satu itu, Zu. Firasatku menuntut agar diriku segera mendatangi tempat itu," jelas Diana.

Zuna menghela nafas sejenak. Pria itu terlihat sedikit frustrasi, namun berusaha agar terlihat baik-baik saja di hadapan Diana. Diana sendiri paham dengan kacaunya Zuna hari itu. Ia tidak perlu mendengar pengakuan dari pria itu, karena sudah terlalu hafal dengan gerak-geriknya.

"Aku pun memiliki firasat yang sama, Na. Aku merasa sesuatu sedang berusaha menuntunku agar masuk ke ruangan itu, ketika aku berada di sana. Tapi kita jelas harus memikirkan konsekuensi, bukan? Konsekuensi yang akan kita dapatkan kali ini jelas berbeda dengan konsekuensi penyamaranmu di SMP GENTAWIRA. Kita tidak bisa seenaknya memutuskan untuk menjalani peranan baru dalam peranan ini. Kita harus tahu seluk-beluk Rumah Sakit itu. Kita harus tahu bagaimana caranya melarikan diri dari sana jika kita akhirnya kedapatan menyelinap oleh seseorang. Kita juga harus ...."

Diana kembali menyodorkan sesuatu ke hadapan Zuna. Beberapa lembar kertas itu berisi denah Rumah Sakit yang sudah Diana dapatkan dari orang kepercayaannya. Diana bahkan sudah menandai beberapa bagian yang tadi disebutkan oleh Zuna. Zuna menatap semua itu dengan ekspresi tidak percaya yang sulit untuk disembunyikan.

"Aku sudah lebih dulu memikirkan hal itu, Zu. Aku tahu tentang apa saja yang kita butuhkan, agar bisa berada di sana tanpa dicurigai dan juga agar bisa lolos dari sana tanpa ketahuan. Maaf kalau aku tidak melibatkanmu ketika memikirkan semua itu. Aku memikirkan hal itu pun secara mendadak tadi pagi, setelah bertemu dengan Pak Septian. Aku tidak bisa menghentikan pikiranku yang mendadak berpikir begitu cepat. Aku hanya ... berusaha agar kita ...."

"Aku mau istirahat, Na," potong Zuna, tiba-tiba.

Membuat Diana terdiam dan tak lagi lanjut memberikan penjelasan.

"Aku butuh mengosongkan pikiranku sejenak, sebelum mengambil keputusan mengenai langkah selanjutnya. Maaf," jelas Zuna.

Diana pun meraih tasnya dan segera bangkit dari sofa yang ia duduki sejak tadi. Ia tidak berusaha membujuk Zuna, karena tidak ingin memperkeruh suasana.

"Aku pulang dulu, Zu. Kamu jangan lupa shalat dan makan malam," pesan Diana. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Diana menutup pintu rumah Zuna, lalu beranjak menuju ke rumahnya di sebelah. Wanita itu berjalan santai karena ingin melepaskan penat yang bersarang di dalam pikirannya. Ia tahu persis bahwa Zuna sedang merasa tidak dilibatkan oleh dirinya soal kasus yang sedang mereka tangani. Ia sedikit menyesal karena tidak segera mendiskusikannya dengan Zuna, hanya karena mempertimbangkan bahwa Reza tadi sedang ada bersama mereka.

"Bagaimana pun, tetap saja perasaan Reza harus dijaga karena dia ada sangkut-pautnya dengan kasus yang kami tangani. Harusnya aku sudah bertindak benar. Tapi entah mengapa aku justru perlahan membuat kekacauan," batin Diana.

Diana baru tiba di halaman rumahnya. Setelah menutup pagar, ia segera berbalik dan berjalan menuju teras. Namun baru saja beberapa langkah ia lalui, mendadak perasaannya menjadi sangat tidak enak. Udara berubah menjadi dingin tanpa alasan, membuat Diana segera mewaspadai keadaan di sekitarnya.

BRAKKK!!!

Tubuh Diana terangkat dan melayang secara mendadak, lalu terlempar ke arah mobilnya yang terparkir di halaman. Diana tersungkur di atas pelataran, sementara alarm mobilnya terpicu dan berbunyi begitu keras. Zuna yang masih duduk di ruang tamu rumahnya mendengar suara alarm itu. Pria itu bergegas keluar dan berlari menuju rumah sebelah. Tubuh Diana kembali terangkat. Diana kini bisa melihat dengan jelas sosok arwah Helmi yang begitu kelam di hadapannya. Arwah Helmi mencekik Diana dengan sangat kuat, membuat Diana tidak bisa bernafas dan hampir kehilangan kesadarannya.

"DIANA!!!" panggil Zuna, panik.

Sosok Helmi menoleh ke arah Zuna yang kini sedang berlari ke arahnya. Tubuh Diana dilepaskan secara mendadak hingga akhirnya terjatuh kembali ke pelataran. Zuna tidak bisa memusatkan pikirannya pada sosok Helmi, karena dirinya merasa sangat khawatir terhadap keadaan Diana. Ia segera meraih Diana ke dalam dekapannya, karena wanita itu benar-benar hampir kehilangan kesadaran.

"Na! Bangun, Na! Tetap sadar, Na!" mohon Zuna.

Sosok Helmi tampak menyeringai kejam ketika Zuna melihatnya sekali lagi sebelum menghilang. Ia merasa begitu geram, namun tidak sempat melakukan apa-apa untuk mengusirnya. Kedua mata Diana kembali terbuka meski nafasnya belum kembali normal seperti biasanya. Zuna menatapnya dengan penuh sesal, lalu mendekapnya begitu erat seakan ingin meredam rasa takutnya.

"Maaf, Na. Seharusnya kamu tidak pulang sendirian. Maaf," bisik Zuna.

Diana membalas dekapan pria itu dengan kedua tangannya yang masih lemas.

"Aku baik-baik saja, Zu. Jangan khawatir," balasnya, mencoba menghibur Zuna.

* * *

SAMPAI JUMPA MINGGU DEPAN 🥰

Rahasia Di SekolahWhere stories live. Discover now