21 | Sedikit Menjebak

892 77 16
                                    

- UPDATE SETIAP HARI KAMIS & JUM'AT
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Septian menatap ke arah semua buku agenda milik Almarhum Helmi, yang berhasil dibawa oleh Zuna dari tempat les. Zuna tampak cukup kerepotan, namun berusaha untuk tidak menunjukkannya di hadapan Septian.

"Jumlahnya ada tujuh belas buku agenda, dan satu lagi ada pada Diana saat ini. Jadi totalnya ada delapan belas buku agenda," jelas Zuna.

"Kenapa dia menyimpan lebih banyak buku agenda di tempat les daripada di sekolah? Bukankah dia jauh lebih sering berada di sekolah daripada di tempat les?" tanya Septian.

"Saya belum tahu jawabannya, Pak. Saya baru akan merundingkan hal itu dengan Diana, untuk mencari jawabannya. Bagaimana jika nanti saya laporkan pada anda hasil dari perundingan dengan Diana setelah jam makan siang? Diana pasti akan menemukan teori dari semua misteri yang saat ini kita hadapi soal Almarhum Helmi," jawab Zuna.

Septian pun menganggukkan kepalanya.

"Ya, kamu benar. Diana pasti akan langsung memiliki teori jika melihat semua buku agenda yang kamu temukan ini. Dia punya insting yang tajam, lebih tajam dari insting kita berdua. Jadi aku juga yakin sekali bahwa ...."

Ponsel Zuna berdering dan satu pesan dari Diana masuk ke ponselnya.

"Ini pesan dari Diana," ujar Zuna.

"Bacakan," pinta Septian.

"Hari ini ada yang aneh, Zu. Reza kaget sekali karena Rudi datang ke sekolah di hari Jum'at. Padahal menurut Reza, setiap hari Jum'at Rudi biasanya selalu tidak pernah hadir di sekolah. Entah karena alasan apa, tidak ada yang pernah tahu. Lucunya, aku mendadak teringat sesuatu dan menemukan hal yang terkait dengan hari Jum'at di dalam buku agenda milik Almarhum Helmi yang kubaca semalam. Saat kita bertemu nanti sambil makan siang, aku akan perlihatkan padamu mengenai keterkaitan tersebut. Begitu katanya, Pak."

"Apakah ini sudah waktunya makan siang?" tanya Septian, sambil melihat jam tangannya.

"Belum, Pak. Masih ... satu setengah jam lagi. Lagi pula kita harus shalat Jum'at lebih dulu sebelum makan siang," jawab Zuna.

"Oh ... saya jelas akan merasa penasaran sampai kamu melaporkan hasil pembicaraan dengan Diana, nanti," keluh Septian.

Rudi tampak sedang mengamati meja milik Almarhum Helmi yang kini ditempati oleh Diana. Diana melihat hal itu ketika dirinya kembali ke Ruang Guru, saat mendekati waktu shalat Jum'at. Ia berjalan mendekat sambil tetap berakting seakan tidak tahu apa-apa.

"Pak Rudi? Ada apa? Ada yang bisa dibantu?" tegur Diana.

Rudi tampak sedikit kaget ketika Diana mendadak muncul di dekatnya. Laki-laki itu jelas tidak menyangka, kalau dirinya akan kedapatan sedang memperhatikan meja milik Almarhum Helmi. Ekspresinya sama sekali tidak bisa mengelabui Diana, bagaimana pun dia berusaha mengontrol diri pada saat itu.

"O--oh, B--Bu Diana. Tidak ada apa-apa, Bu. Hanya memperhatikan meja kerja para Guru yang sudah lama tidak diganti," jawab Rudi, sedikit terbata-bata.

"Oh, begitu rupanya. Aku pikir Pak Rudi butuh sesuatu dari meja yang pernah dipakai oleh Almarhum Pak Helmi. Saat pertama menempati meja itu, ada beberapa barang milik Almarhum Pak Helmi yang aku singkirkan," ujar Diana, dengan sengaja.

"O--oh, ya? Barang apa saja itu, Bu Diana? Dan ... anda singkirkan ke mana barang-barang milik Almarhum Pak Helmi?" Rudi kini tampak ingin tahu.

"Tidak banyak, Pak Rudi. Di dalam lacinya hanya ada beberapa alat tulis dan satu buah buku agenda. Tapi semuanya sudah aku buang ke tempat sampah di samping sekolah pada sore hari dihari pertama aku mengajar. Mungkin semua itu sudah diangkut oleh petugas kebersihan."

Rudi kini terlihat mulai tidak tenang. Laki-laki itu dengan segera memasukkan tangannya ke dalam saku celana, agar tidak terlihat gemetaran di hadapan Diana. Sayangnya, Diana sudah tahu kalau tangan Rudi gemetaran pada saat itu. Reza muncul tak lama kemudian di Ruang Guru dengan wajah panik.

"Ada apa, Pak Reza? Ada yang bisa dibantu?" tanya Diana, mencoba mengalihkan situasi dari kecanggungan dengan Rudi.

"Uhm ... waktu shalat Jum'at sudah dekat, Bu Diana. Tapi aku belum bisa menyimpan piano keyboard ini di kelas 2-B, karena masih ada Bu Tina yang mengajar. Sekarang aku bingung harus menyimpan piano keyboard ini di mana, karena akan memakan tempat jika disimpan di sini," jawab Reza.

"Berikan saja padaku, Pak Reza. Setelah Bu Tina selesai mengajar, aku akan menyimpan piano keyboard itu di kelas 2-B," tawar Diana.

"Apakah tidak akan merepotkan, Bu Diana? Bu Diana mungkin ada kegiatan lain yang ...."

"Aku free saat ini sampai jam makan siang nanti, Pak Reza. Tenang saja," potong Diana dengan cepat.

Reza pun memberikan piano keyboard tersebut pada Diana, lalu segera berpamitan agar bisa pergi ke masjid. Rudi menyusul langkah Reza setelah meyakinkan diri bahwa Diana tidak tahu apa-apa soal isi buku agenda milik Almarhum Helmi. Diana sendiri segera berjalan keluar dari Ruang Guru menuju kelas 2-B. Tina--Guru Bahasa Indonesia--mempersilakan Diana masuk ketika jam pelajarannya sudah berakhir. Diana segera meletakkan piano keyboard milik Reza di kelas tersebut, lalu memasangnya dengan tepat karena dirinya juga piano seperti itu di rumah. Para siswa segera keluar kelas untuk melaksanakan shalat Jum'at, sementara yang tersisa di kelas itu hanyalah para siswi.

Sosok Sekar kini sedang memperhatikan Diana dari dekat seraya tersenyum, seakan berharap kalau Diana akan memainkan piano milik Kakaknya. Mencoba menyalakan piano keyboard milik Reza ternyata cukup memakan waktu, karena piano keyboard itu berbeda jenis dengan yang ia miliki di rumah. Diana mencoba menekan beberapa nada untuk memastikan kalau piano keyboard itu sudah benar-benar menyala. Para siswi yang sedang memperhatikan Diana kini mulai tersenyum seperti yang bisa Diana lihat pada wajah Sekar.

"Mainkan, Bu. Satu lagu saja," pinta salah satu siswi.

"Tapi sebentar lagi waktu shalat Jum'at akan segera selesai dan Pak Reza serta para siswa lain akan datang ke sini," Diana berupaya menolak.

"Ayolah, Bu. Satu lagu saja. Shalat Jum'atnya sudah selesai, jadi tidak akan ada yang merasa terganggu jika ada yang belajar kesenian lebih awal."

Diana pun tersenyum dengan wajah memerah.

"Satu lagu saja, ya," ujar Diana.

"Iya, Bu!!!" jawab semuanya, kompak.

"Kalian mau bernyanyi bersama Ibu, sebelum belajar kesenian bersama Pak Reza?" tawar Diana.

"Mau, Bu!!!"

"Oke ... oke ... tetap tenang, ya. Ibu boleh sambil merekam, 'kan? Untuk kenang-kenangan," Diana meminta izin.

Semua siswi di kelas itu menunjukkan kedua ibu jari mereka dengan kompak, seraya tersenyum begitu lebar. Diana senang sekali saat melihat betapa antusiasnya mereka. Tatapannya pun jatuh pada Sekar yang terus ada di sampingnya. Ia memberi tanda pada Sekar untuk duduk di sisinya yang akan bermain piano. Sosok Sekar langsung memenuhi hal itu, sehingga kini Diana benar-benar duduk tepat di samping Sekar. Ponselnya akan menyorot dari arah sudut kelas, agar semuanya bisa terlihat di dalam video yang ia ambil.

Diana pun memulai nada awal, lalu mulai menyanyikan sebuah lagu. Para siswi di kelas itu mendengarkan dengan penuh penghayatan. Para siswa yang tadi keluar untuk shalat Jum'at berhenti di depan pintu karena tidak berani masuk dan mengganggu, terlebih itu adalah perintah dari Reza yang juga sedang menikmati alunan musik dan lagu yang dinyanyikan oleh para siswi bersama Diana.

"Sekar ada bersamamu 'kan, Diana? Kamu memainkan piano itu karena dia ingin kamu melakukannya, 'kan? Benar, 'kan?" batin Reza, dengan senyum penuh luka di wajahnya.

* * *

Rahasia Di SekolahWhere stories live. Discover now