36 | Berhadapan Secara Langsung

753 73 23
                                    

- UPDATE SETIAP HARI KAMIS & JUM'AT
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Diana belum tiba di tempat yang sudah disepakati. Hal itu membuat Zuna dan Reza memutuskan memilih meja lebih dulu sebelum pergi ke tempat pemesanan. Mereka sama-sama menyimpan jaket pada sandaran kursi, agar tidak merepotkan ketika akan memesan minuman.

"Mau minum apa, Za?" tanya Zuna.

Reza tampak memperhatikan daftar menu yang ada pada dinding, sementara Zuna sibuk melihat deretan tumbler warna-warni di dekatnya.

"Aku mau pesan Iced Spanish Latte saja, Zu," jawab Reza.

Di tangan Zuna sudah ada satu buah tumbler yang tampaknya akan dia beli. Pria itu menatap ke arah pegawai MAXX Coffee dan menyerahkan tumbler yang dipilihnya.

"Pesan Iced Spanish Latte, satu, atas nama Reza. Pecan Praline Latte, satu, atas nama Zuna. Sama Iced Salted Caramel Latte, satu, atas nama Diana. Oh ya, tumblernya tolong dibungkus sekalian, Mas," ujar Zuna.

"Baik, Mas. Mohon tunggu sebentar."

Reza tersenyum perlahan sambil menatap ke arah Zuna.

"Pasti tumbler itu buat Diana. Iya, 'kan?" tebak Reza.

"Mm. Iya. Kamu benar," jawab Zuna, sedikit berusaha menyembunyikan wajahnya. "Kenapa? Kamu merasa senang karena berhasil menebak?"

"Iya, dong. Jelas aku merasa senang karena berhasil menebak, bahwa tumbler itu kamu beli untuk Diana. Jarang-jarang aku bisa menebak tujuan seseorang melakukan sesuatu."

"Oh, begitukah alasannya? Bukan karena kamu juga ingin dibelikan tumbler?" selidik Zuna.

"Aku bukan anak TK, Zu. Aku enggak butuh tumbler. Kalaupun aku mau, sebaiknya aku beli sendiri. Aku enggak mau kamu mengungkitnya seumur hidup, kalau sampai aku menerima tumbler yang kamu belikan. Atau ... kalau nanti aku punya orang yang spesial, maka baru akan kuberi dia hadiah tumbler seperti yang kamu beli untuk Diana," ujar Reza.

"Bagaimana kalau hari ini juga Pak Reza belikan salah satu tumbler itu untukku? Apakah keberatan?"

Suara Mita jelas mengagetkan Reza dan Zuna, sehingga kedua pria itu berbalik dengan kompak ke arah di mana Mita berada. Beni ada bersama Mita. Laki-laki itu kini sedang menatap sengit ke arah Zuna, perkara dirinya telah mendengar pembicaraan antara Zuna dan Reza mengenai tumbler untuk Diana.

"Bu Mita ... Pak Beni ... kalian juga akan menghabiskan waktu dihari minggu di tempat ini?" tanya Reza seraya tersenyum.

Reza jelas sedang mencoba untuk tetap ramah, meski jantungnya masih berdebar-debar akibat kaget. Zuna sendiri kini lebih memilih segera menatap kembali ke arah pegawai MAXX Coffee yang sedang mengurus pesanannya. Ia malas melihat Mita dan sama sekali tidak ingin berkomunikasi dengan perempuan itu. Mita langsung merasa diabaikan ketika melihat sikap Zuna. Ia kembali merasa sakit hati, hingga akhirnya mengepalkan tangan begitu kuat di sisi Beni. Reza melihat hal itu dan mulai waspada dengan apa pun yang akan terjadi ke depannya.

"Katanya cuma sahabat. Eh, perhatiannya kok melebihi sahabat. Sahabat macam apa itu?" sindir Beni.

"Sabar, Ben. Mungkin bukan Zuna yang mau membelikan tumbler itu untuk Diana, tapi Diana yang meminta-minta dibelikan tumbler pada Zuna. Maklumlah, dia 'kan pick me girl," tanggap Mita, sedikit sinis.

Zuna membayar semua pesanannya, lalu memberi tanda pada Reza agar mengikuti langkahnya. Beni maupun Mita merasa geram akan hal itu. Keduanya jelas belum merasa puas, karena Zuna terus mengabaikan mereka meski mendengar yang mereka katakan.

"Jangan pakai kata sahabat untuk menutupi perasaan sukamu terhadap Diana, Zu! Kamu terlihat munafik!" seru Beni, jauh lebih keras daripada sebelumnya.

"Atau kalau tuduhan Beni terhadap kamu enggak benar, katakan sama Diana untuk enggak jadi perempuan gatal," saran Mita.

Zuna hampir kembali berbalik, andai saja Reza tidak cepat-cepat menahannya. Amarahnya tersulut saat Mita mengatakan hal-hal buruk tentang Diana. Ia tidak peduli pada apa yang dikatakan oleh Beni, dan hanya peduli untuk melindungi nama baik Diana saat berada di depan umum.

"Kalau ngomong sebaiknya langsung di depanku saja, Mit, jangan melalui Zuna," tantang Diana.

Entah sejak kapan wanita itu berada di pintu masuk MAXX Coffee. Tapi Reza maupun Zuna sangat yakin, kalau Diana telah mendengar ucapan buruk Mita tentangnya.

"Oh ... akhirnya kamu muncul juga. Kenapa? Merasa tersinggung karena aku menyebutmu perempuan gatal? Merasa malu di depan banyak orang?" ejek Mita, sangat terang-terangan.

Diana pun tersenyum sangat santai tanpa mengalihkan tatapannya dari Mita. Beni mewaspadai keadaan, kalau sampai akhirnya akan terjadi perkelahian antara Diana dan Mita.

"Enggak. Aku enggak perlu merasa tersinggung. Toh bukan aku, orang yang membuat Zuna kehilangan kesempatan menyelamatkan Almarhumah Rania dari kobaran api pada saat kebakaran terjadi di rumahnya. Terserah kamu mau bilang apa tentangku, Mita. Intinya, kamulah pembunuh sebenarnya sehingga Almarhumah Rania tidak bisa diselamatkan oleh Zuna. Itu adalah fakta," tekan Diana, halus dan tajam.

Mita tersulut emosi secara tiba-tiba. Perempuan itu langsung mendekat ke arah Diana dan menjambak rambutnya dengan kuat. Zuna, Reza, dan Beni segera berusaha memisahkan mereka, karena takut kalau Diana akan kesakitan. Tapi saat ketiganya mendekat, Diana justru mendorong mereka agar menjauh. Diana saat itu tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa dirinya merasa kesakitan. Dia tetap tersenyum saat berhadapan dengan Mita, meski rambutnya tengah dijambak dengan kuat.

"Rasakan ini!!! Ini adalah balasan untuk mulutmu yang berani menuduhku sebagai pembunuh!!!" amuk Mita.

"Ha-ha-ha-ha-ha! Kenapa, Mit? Kamu tersinggung, hah?" tanya Diana, lantang.

Sedetik kemudian, Diana segera mengubah ekspresinya menjadi sangat dingin setelah memastikan bahwa Zuna berada jauh dari posisinya.

"Bukankah seharusnya kamu menyangkal, Mita, jika kamu memang tidak membunuh Rania? Hal pertama yang akan dilakukan oleh orang tidak bersalah adalah berusaha memberi penjelasan, bukan merasa tersinggung akan sebuah tuduhan," bisiknya.

Apa yang Diana bisikkan membuat Mita segera melepaskan tangannya yang masih menjambak dengan kuat. Diana tidak tumbang ataupun sekedar kehilangan keseimbangan. Wanita itu tetap berdiri tegap di hadapan Mita, sambil tersenyum miring.

"Karma dari dosamu akan segera mengejar. Berhati-hatilah mulai dari sekarang," saran Diana.

Mita mendadak gemetaran, lalu segera melarikan diri dari tempat itu tanpa mengatakan apa-apa lagi. Beni segera mengejarnya, meski sebenarnya ia merasa khawatir dengan keadaan Diana. Diana sendiri kini mendekat pada Zuna dan Reza, sambil merapikan rambutnya yang jadi sedikit berantakan akibat Mita menjambaknya.

"Kalian berdua enggak apa-apa, 'kan? Kalian baik-baik saja, 'kan? Mita atau Beni enggak berbuat apa-apa selain bicara, 'kan?" tanya Diana.

"Harusnya kami yang bertanya begitu sama kamu, Na. Kamu yang baru saja dijambak oleh Mita. Kenapa malah jadi kamu yang mengkhawatirkan kami? Keadaanmu sendiri bagaimana? Apakah ada yang sakit? Bilang sama aku, Na," mohon Zuna.

"Yang sakit saat ini adalah hatiku, Zu. Aku sakit hati, karena melihat Mita masih berani bicara di depan kamu setelah dia melakukan kesalahan besar terhadap kamu dimasa lalu. Maka dari itu aku tanya, apakah kamu baik-baik saja? Aku juga butuh jawaban," jelas Diana.

Zuna langsung membawa Diana ke dalam dekapannya. Ia ingin membuat wanita itu kembali tenang, tidak peduli dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Ekhm! Pelukannya bisa dipercepat? Es dalam kopiku mulai mencair," Reza mengganggu dengan sengaja.

* * *

Rahasia Di SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang