48 | Mempermainkan Rudi

666 69 8
                                    

- UPDATE SETIAP HARI KAMIS & JUM'AT
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Zuna terlihat sudah menunggu di depan SMP GENTAWIRA siang itu. Diana dan Reza bisa melihat keberadaannya melalui jendela Ruang Guru yang selalu terbuka. Diana sendiri segera berniat untuk beranjak keluar agar bisa menghampiri pria itu, karena tahu bahwa Rudi akan segera keluar dari ruang kerjanya. Ia jelas tidak mau pergi makan siang bersama Rudi, meski semalam dirinya membiarkan Rudi menemaninya makan malam di restoran. Bagi Diana, hal itu tidak akan pernah terjadi untuk kedua kalinya. Dirinya tidak akan membiarkan Rudi mendekat lagi dan menikmati waktu berdua dengannya untuk alasan apa pun.

"Aku duluan, Za," bisik Diana. "Sekar ada di sampingmu."

Reza menatap ke arah Diana selama beberapa saat, lalu menoleh ke arah sisi kanannya seperti tadi pagi. Ia tersenyum untuk Sekar, namun berusaha sebisa mungkin menyamarkan hal tersebut dengan cara menatap ponselnya. Zuna melihat kedatangan Diana dan berupaya untuk tersenyum meski saat ini hatinya sedang dipenuhi gejolak. Diana mendekat padanya seraya memberi tanda ke arah pintu Ruang Guru yang mengarah ke halaman depan sekolah. Hal itu membuat Zuna paham, bahwa Diana sedang meminta agar dirinya dibawa pergi oleh Zuna sebelum Rudi keluar dari sana.

"Ayo, kita makan siang," ajak Zuna, seraya merangkul Diana tanpa basa-basi.

"M-hm ... ayo," tanggap Diana, ceria seperti biasanya.

Ketika Zuna dan Diana meninggalkan halaman SMP GENTAWIRA, Rudi akhirnya keluar dari Ruang Guru dan tampak begitu terburu-buru. Sayangnya, laki-laki itu jelas sudah kalah langkah dari Zuna, sehingga Diana kini sudah pergi lebih dulu sebelum bertemu dengan dirinya lagi. Laki-laki itu jelas terlihat kesal dan ingin sekali mengumpat, namun tidak ia laksanakan. Untuk sejenak, ia merasa begitu cemburu karena Zuna selalu saja bisa berada di sisi Diana tanpa perlu mencari-cari waktu ataupun mencari-cari kesempatan. Rudi merasa seakan Zuna memang telah ditakdirkan untuk menempati sisi hidup Diana, sehingga begitu sulit untuknya menggeser posisi Zuna saat ini.

Reza menatap sengit ke arah Rudi secara diam-diam, dari balik jendela Ruang Guru. Kini yang tersisa di ruangan itu hanyalah dirinya, sementara Guru-guru lain sudah keluar untuk makan siang. Sosok Sekar masih ada di sampingnya, namun keberadaannya tidak terasa panas seperti tadi pagi meski ada Rudi di sekitar mereka. Sekar sudah memegang janji yang Reza ucapkan, sehingga tidak terlalu ingin mengumbar kemarahan jika berada di dekat Kakaknya. Namun, tatapan Reza yang sengit menjadi pertanyaan baru untuk Sekar. Ia ingin sekali tahu tentang apa yang sedang Reza pikirkan saat ini.

"Aku tidak suka cara Rudi menatap Diana, meski itu hanya dari kejauhan. Tatapannya seperti binatang yang siap menerkam mangsanya. Benar-benar sangat mengganggu pikiranku," gumam Reza.

Sekar pun paham bahwa Reza sedang khawatir terhadap Diana. Rudi memang manusia yang wajib untuk diwaspadai setiap saat. Karena jika sampai sedikit saja lengah, maka Rudi bisa mengambil jalan yang cukup tidak terduga dan akan berakhir buruk.

"Aku tahu bahwa mendoakan hal buruk untuk orang lain adalah hal yang salah. Tapi entah kenapa rasanya aku ingin dia terkena sial setiap kali sedang menatap Diana. Aku ingin dia terus-menerus sial, agar dia segera sadar bahwa Diana bukanlah hal yang pantas untuk dia harapkan," bisik Reza, sambil mengepalkan kedua tangannya begitu erat.

Tidak perlu menunggu lama, Rudi mendadak terjatuh di dekat mobilnya akibat tersandung oleh sebuah batu besar yang mendadak muncul di dekatnya. Hal itu membuat Reza terbelalak sejenak, lalu menoleh ke arah sisi kirinya meski ia tidak bisa melihat siapa-siapa di sana.

"I--itu ... pasti kamu yang lakukan, 'kan, Dek?" tanya Reza.

Setelah bertanya seperti itu, Reza pun segera keluar dari Ruang Guru dan berpura-pura kaget saat melihat Rudi yang masih terduduk di dekat mobilnya.

"Pak Rudi? Ada apa, Pak? Bapak terjatuh lagi?" tanya Reza, seraya mencoba membantu Rudi berdiri.

Rudi meringis kesakitan, karena kaki kanannya menjadi terkilir setelah terjatuh untuk yang kedua kalinya hari itu. Reza ingin sekali bersorak bahagia saat tahu kalau kaki Rudi mengalami cedera. Namun hal itu tentu saja tidak ia lakukan, karena Rudi pasti akan merasa tersinggung dan marah padanya.

"Iya, Pak Reza. Saya terjatuh lagi. Entah kenapa batu besar itu mendadak muncul di depan saya. Padahal tadi jelas-jelas saya melihat kalau jalanan di depan saya tidak ada batu sama sekali," jawab Rudi, mulai sedikit merasa tidak tenang.

Sosok Sekar sudah ada di samping mobil Rudi. Arwah gadis itu dengan sengaja membuka pintu mobil milik Rudi, lalu membantingnya begitu keras di hadapan Rudi dan Reza. Reza maupun Rudi jelas merasa kaget dengan apa yang mereka lihat saat itu. Hanya saja, Reza jelas tahu kalau itu adalah perbuatan Sekar, sementara Rudi sendiri justru takut kalau itu adalah perbuatan arwah Helmi yang ingin membalas dendam padanya.

"Itu ... itu pasti Helmi! Helmi pasti sedang berusaha menerorku!" desis Rudi, dengan wajah yang mulai memucat.

"Helmi? Almarhum Pak Helmi-kah yang Pak Rudi maksud?" Reza berpura-pura polos.

"I--iya, Pak Reza. I--itu yang sa--saya maksud."

Reza pun menunjukkan wajah sedikit heran bercampur bingung ketika akan menanggapi ucapan Rudi.

"Tapi Almarhum Pak Helmi 'kan sudah meninggal, Pak. Mana mungkin Almarhum Pak Helmi bisa membuka pintu mobil Bapak dan membantingnya seperti barusan? Lagi pula, membalas dendam? Untuk apa Almarhum Pak Helmi membalas dendam pada Pak Rudi? Pak Rudi 'kan orang baik, jadi kenapa ada orang yang sampai ingin membalas dendam pada Bapak? Almarhum Pak Helmi juga meninggal karena bunuh diri, Pak, bukan karena dibunuh oleh Pak Rudi," ujar Reza, seakan sedang ingin menenangkan Rudi.

"Ta--tapi itu ... itu sudah jelas kalau ...."

KREK! BUBH!!!

Sekali lagi, pintu mobil milik Rudi terbuka dan tertutup lagi untuk yang kedua kalinya. Hal itu membuat Reza memundurkan diri beberapa langkah, agar Rudi juga terpancing untuk mundur. Benar saja, Rudi jelas sedang berupaya mencari perlindungan kepada Reza karena merasa sangat takut.

"Usir dia, Pak Reza! Usir dia!" mohon Rudi.

"Usir? Saya harus mengusir? Siapa yang harus saya usir, Pak? Masalahnya, tidak ada siapa-siapa di mobil Bapak," Reza masih terus berakting.

"Itu sudah pasti Helmi! Dia mau balas dendam padaku, Pak Reza! Dia merasa marah, karena aku membungkam dia selama-lamanya!" sahut Rudi, semakin panik.

"Oke, kalau begitu Pak Rudi tenang dulu," bujuk Reza.

Reza pun mencoba mendekat ke arah mobil Rudi, lalu membuka pintunya dan menatap ke dalam.

"Pergi! Siapa pun kamu, cepat pergi dari mobil ini dan jangan kembali lagi!" tegas Reza, seakan benar-benar sedang mengusir seseorang.

Tak lama kemudian, Batu-batu kecil di dekat mobil-mobil lain yang terparkir terlihat bergeser dengan sendirinya menuju ke arah gerbang. Hal itu membuat Rudi merasa yakin, kalau arwah Helmi telah benar-benar pergi dari mobilnya. Sosok Sekar hanya bisa tertawa ketika melihat tampang Kakaknya yang sedang berupaya menahan tawa. Reza tidak pernah menyangka akan melakukan akting sejauh itu, meski dirinya adalah Guru Kesenian.

"Sekarang aku jadi punya lebih banyak ide untuk membuat Rudi terlihat seperti orang gila," batin Reza.

* * *

Rahasia Di SekolahWhere stories live. Discover now