6 | Mulai Menunjukkan Kemunafikan

1K 89 6
                                    

- UPDATE SETIAP HARI KAMIS & JUM'AT
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Saat semua anggota kelas sedang mencatat pada buku catatan atau iPad mereka masing-masing, Diana pun duduk di kursi Guru sambil memberi tanda untuk mendekat kepada sosok gadis remaja yang masih menatapnya sejak tadi. Sosok itu melayang ke arahnya dan berhenti tepat di samping meja Guru yang Diana tempati. Diana berusaha kembali mengintip ke bagian dalam jas sekolah yang dipakai oleh sosok gadis remaja tersebut. Setelah berusaha begitu keras, akhirnya Diana bisa melihat nama yang tertera pada seragam berwarna putih di balik jas tersebut. Diana pun buru-buru mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan untuk dikirimkan kepada Zuna.

DIANA
Aku sudah tahu siapa nama sosok gadis remaja yang kulihat hari ini, Zu. Namanya Anindira Sekar.

Setelah mengirim pesan itu, Diana kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana seraya tetap menatap ke arah sosok Anindira Sekar.

"Anindira atau Sekar, nama panggilanmu?" tanya Diana, berbisik.

Sosok itu menunjuk baris kedua dari namanya yang ada di balik jas sekolah.

"Hm ... Sekar, rupanya. Nama panggilan yang cukup bagus."

Setelah semua anggota kelas selesai mencatat pelajaran dari buku cetak, Diana pun mulai menjelaskan isi dari materi yang tengah mereka pelajari. Rudi dan Beni tampak melintas di depan kelas tempat Diana berada saat itu. Diana berpura-pura tidak tahu kalau dirinya sedang diperhatikan oleh Rudi dan Beni. Ia terus saja menjelaskan materi pelajaran dan sesekali memberi izin pada siswa atau siswi yang ingin mengajukan pertanyaan. Diana sebisa mungkin tetap bertindak sangat natural. Hingga pada satu titik konsentrasi Diana terpecah, karena dirinya melihat sosok Sekar yang kini mendadak menatap penuh kemarahan tepat ke arah dua laki-laki yang baru saja melintas.

"Kenapa sosok Sekar mendadak marah? Kepada siapa kemarahannya tertuju? Apakah kepada Beni? Atau kepada Rudi?" batin Diana, kembali merasa penasaran.

Ia kembali berusaha berkonsentrasi dan melanjutkan penjelasannya pada materi kali itu. Kemarahan di wajah Sekar perlahan menghilang setelah Beni dan Rudi tidak lagi terlihat. Di luar, Beni dan Rudi saat ini masih berjalan bersama sambil berbicara. Mereka sama-sama melewati ruang kelas yang menjadi tempat meninggalnya Helmi kemarin, lalu berhenti sejenak di depan jendelanya.

"Besok kelas ini sudah boleh kembali ditempati oleh anak-anak kelas 2-B. Semuanya sudah dibersihkan dan tidak ada lagi jejak-jejak bunuh dirinya Helmi yang tersisa di ruangan ini," ujar Rudi.

"Penyebab kematian Helmi memang sudah ditetapkan karena bunuh diri? Polisi sudah memberikan kabar?" tanya Beni.

"Polisi tidak perlu memberi kabar apa-apa padaku. Sudah bisa dilihat sendiri kalau Helmi meninggal akibat gantung diri. Tidak mungkin ada yang menggantungnya di sana. Pasti dia menggantung dirinya sendiri alias bunuh diri," jawab Rudi, begitu enteng.

Setelah Rudi memberikan jawaban seperti itu kepada Beni, mendadak hawa di sekitar mereka terasa jauh lebih dingin dari sebelumnya. Bulu kuduk mereka meremang tanpa alasan sehingga sekujur tubuh mereka merinding luar biasa. Tanpa mereka tahu, saat ini mereka sedang ditatap oleh arwah Helmi yang mulai bergentayangan akibat kematiannya yang tidak wajar dan terus ditutup-tutupi.

"Apakah cuma perasaanku saja atau kamu juga merasa, Rud? Aku merasa merinding dari ujung kaki sampai ujung kepala," ungkap Beni.

"Hm, aku juga merasakannya, Ben. Ayo, sebaiknya kita segera pergi saja ke Ruang Guru. Tidak ada gunanya juga berlama-lama di sini," ajak Rudi, mencoba menutupi rasa takutnya di hadapan Beni.

Kedua laki-laki itu kini sama-sama pergi dari depan ruang kelas yang tadi mereka lihat. Waktu pergantian jam pelajaran tiba beberapa menit setelahnya. Beberapa orang Guru mulai keluar dari kelas yang telah mereka ajar hari itu. Diana juga keluar dari ruang kelas 1-B dan berjalan menuju Ruang Guru. Sosok Sekar masih mengikutinya dan Diana merasa tidak keberatan akan hal itu. Hanya saja tatapan Diana kini terarah pada sosok Helmi yang sedang berdiri di depan ruang kelas tempatnya meninggal dunia. Sosok Helmi menatap ke arah Diana, seakan tahu kalau Diana adalah Guru yang mengganti posisinya di sekolah itu. Diana pun tak mau kalah dan balas menatap ke arah sosok Helmi, untuk menyatakan bahwa ia tahu mengenai keberadaannya.

Setelah jauh melewati sosok Helmi, Diana akhirnya tiba di Ruang Guru. Ia duduk di meja yang kini menjadi tempatnya, meskipun sebelumnya itu adalah meja milik Helmi. Sosok Sekar kini duduk di kursi kosong yang berada tepat di pojok dekat meja milik Diana. Diana menatapnya begitu lama, lalu melihat kalau Sekar menunjuk ke arah laci paling bawah pada meja tersebut. Diana menarik laci itu diam-diam, lalu menemukan bahwa di dasar laci tersebut ada sebuah buku agenda berwarna hitam yang tampaknya sengaja disembunyikan oleh Helmi. Diana mengambil buku agenda tersebut lalu memasukkannya dengan cepat ke dalam tas miliknya.

Ia mengeluarkan ponsel dan kembali mengetik pesan kepada Zuna. Diana ingin saat pria itu membuka pesan darinya, dia bisa tahu mengenai apa saja yang Diana laporkan tentang sekolah tersebut.

DIANA
Aku berpapasan dengan arwahnya Helmi, tepat di depan ruang kelas yang menjadi tempat dia meninggal. Arwahnya menatapku, aku pun balas menatap arwahnya. Dia terlihat begitu marah. Entah marah pada siapa. Oh ya, sosok Sekar menunjukkan sebuah buku agenda padaku yang tersimpan rapi di dasar laci meja milik Helmi. Buku agenda itu kini ada di dalam tasku dan akan kubaca isinya saat tiba di rumah, nanti malam.

Setelah mengirim pesan itu pada Zuna, Diana pun kembali berdiri dari kursinya dan hendak melanjutkan jam mengajar yang tertera pada jadwal pemberian Rudi. Mita mendadak mendekat pada Diana dan berupaya tersenyum santai pada wanita itu. Diana pun membalas senyumannya dengan sangat ramah.

"Mari kita sama-sama berjalan menuju kelas yang akan kita ajar, Bu Diana," ajak Mita.

"Ya, mari Bu Mita. Aku jelas tidak akan merasa keberatan jika Bu Mita mengajakku untuk pergi bersama," tanggap Diana.

Mita pun langsung merangkul lengan kanan Diana, setelah Diana menyampirkan tas miliknya pada bahu kiri. Diana berusaha beradaptasi dengan hal itu, karena tidak mungkin ia menolak perlakuan Mita yang bisa dibilang cukup baik terhadap dirinya. Ia akan dicap sombong jika sampai menunjukkan reaksi menolak atau reaksi tidak nyaman, meski saat itu sebenarnya ia merasa tidak nyaman berdekatan dengan Mita.

"Aku dengar dari Beni, bahwa kamu sudah lama menjalin persahabatan dengan Zuna, tepatnya sejak tahun dua ribu sepuluh ketika Zuna pindah ke Jakarta. Apa itu benar?" tanya Mita.

Diana pun akhirnya tahu bahwa Mita hanya sedang berpura-pura baik padanya. Wanita itu ingin mendengar sendiri dari mulutnya, tentang kisah persahabatan yang terjalin antara dirinya dan Zuna. Hal itu membuat Diana menyimpulkan, bahwa Mita saat ini sedang menahan-nahan rasa cemburunya yang sedang berkecamuk.

"Ya, itu benar. Kami bertemu lagi di Jakarta pada tahun dua ribu sepuluh. Kami hidup bertetangga dan sering saling mengunjungi jika akhir pekan tiba. Zuna fokus pada kegiatannya di Akademi Kepolisian dan aku juga fokus pada kuliahku. Tapi kami sama-sama sering meluangkan waktu bersama-sama ketika akhir pekan tiba. Akhirnya ... hubungan persahabatan kami bisa terjalin sampai saat ini dan aku memutuskan menyusul Zuna kembali ke kota ini saat dia pindah tugas," jawab Diana, tidak berbeda dari apa yang dikatakannya pada Beni.

* * *

Rahasia Di SekolahWhere stories live. Discover now