30 | Sisi Lain Yang Tak Pernah Terlihat

845 69 11
                                    

- UPDATE SETIAP HARI KAMIS & JUM'AT
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Rudi keluar kembali dari ruangannya, saat diberi tahu bahwa ada kurir yang mengantar paket untuknya. Laki-laki itu menandatangani tanda terima, lalu segera membuka paket tersebut ketika kurir yang mengantar sudah pergi. Wajah Rudi yang awalnya biasa saja mendadak berubah pucat ketika membaca lembaran-lembaran kertas dari dalam paket tersebut. Kedua tangannya gemetar hebat, namun sebisa mungkin laki-laki itu mencoba untuk tetap terlihat tenang.

Reza bisa melihat kegelisahan Rudi dengan sangat jelas. Begitu pula dengan Diana yang sudah merencanakan soal paket tersebut agar diterima oleh Rudi. Ketika Rudi menutup kembali kotak paket yang dipegangnya lalu hendak kembali ke kantornya, Reza segera bangkit dari kursinya dan sengaja menabrakan diri pada laki-laki itu hingga kotak paket yang diterima terjatuh dengan isi berhamburan di lantai. Rudi tampak begitu panik dan segera mengumpulkan semua kertas yang berhamburan tersebut.

"Ma--maaf, Pak Rudi. Aku tidak melihat kalau Bapak hendak berjalan kembali ke ruangan," ucap Reza, berpura-pura merasa menyesal.

"Ti--tidak apa-apa, Pak Reza. Ti--tidak apa-apa," sahut Rudi, terbata-bata.

Setelah berhasil mengumpulkan semua kertas yang berhamburan di lantai, Rudi pun buru-buru kembali ke ruangannya. Reza dan Diana saling menatap sekilas, lalu segera berpura-pura kembali pada kesibukan mereka. Reza keluar lebih dulu dari Ruang Guru, Diana menyusulnya tak lama kemudian. Mereka akhirnya berjalan bersama, karena Reza sengaja memelankan langkahnya.

"Apa isi semua kertas tadi, Na?" tanya Reza, berbisik.

"Fotokopi dari isi agenda Almarhum Helmi, Za. Aku juga mengirimkan satu lembar surat berisi peringatan untuk dia di dalam paket tadi. Kamu tenang saja. Kita sama-sama akan melihat bagaimana gelisahnya Rudi, setelah merasa rahasianya terancam terbongkar," jawab Diana.

"Zuna tahu soal rencanamu ini?"

"Ya, dia tahu. Dia sudah stand by di depan jalan raya sana menggunakan mobil dinas milik kantor. Mengantisipasi jika seandainya Rudi akan pergi dari sini ke suatu tempat, demi memastikan bahwa rahasianya tetap aman."

Beni berusaha menyusul Reza dan Diana, meski langkahnya masih tertatih-tatih. Laki-laki itu tampaknya tetap saja tidak mau menyerah untuk mendekati Diana, meski Diana sudah memberi jawaban bahwa wanita itu tidak akan membukakan jalan.

"Hai, Diana," sapa Beni.

Diana dan Reza kompak menoleh ke belakang, lalu memberi ruang pada Beni agar berjalan di tengah-tengah mereka berdua. Reza merangkul pundak Beni, sementara Diana merangkul lengan Beni agar bisa berjalan dengan mudah meski kaki laki-laki itu masih sakit.

"Apa kata Dokter, Ben? Kamu tidak disuruh istirahat, gitu, setelah mengalami cedera seperti ini?" tanya Diana.

"Diresepkan obat, Pak Beni?" Reza ikut bertanya.

Beni masih mengatur debaran jantung, karena untuk pertama kalinya Diana merangkul lengannya meski hanya bertujuan untuk membantu berjalan.

"Sebenarnya disuruh istirahat, tapi masalahnya sebentar lagi Ujian Tengah Semester akan segera berlangsung. Jadi tidak mungkin aku tidak hadir untuk mengajar anak-anak. Dokter juga meresepkan obat untukku dan harus aku minum tiga kali sehari," jawab Beni atas pertanyaan yang diajukan oleh Diana dan Reza.

"Kalau begitu obatnya jangan sampai lupa kamu minum, Ben. Meski tidak istirahat di rumah, setidaknya kamu jangan absen meminum obat sampai sembuh," saran Diana.

"Ya, tentu saja. Aku pasti akan meminum obatnya sampai benar-benar sembuh. Aku akan mendengarkan saranmu," tanggap Beni, terlihat begitu senang.

Reza dan Diana kini tiba di depan kelas yang akan Beni ajar. Reza melepaskan rangkulannya dari pundak Beni, begitu pula dengan Diana yang melepas rangkulannya dari lengan Beni.

"Kami akan naik ke lantai dua, Pak Beni," pamit Reza.

"Pelan-pelan saja jalannya, Ben. Jangan buru-buru," pesan Diana.

"Ya, terima kasih banyak atas bantuannya. Aku pasti akan berjalan pelan-pelan dan lebih berhati-hati mulai dari sekarang," balas Beni.

Diana dan Reza segera naik ke lantai atas. Reza kini menatap ke arah Diana yang mendadak memasang wajah datarnya, setelah tidak lagi ada di samping Beni.

"Aktingmu tadi terlihat benar-benar tulus, Na. Kamu cocok jadi aktris," ujar Reza.

"Aku akan selalu jadi aktris yang akan membuatnya merasa melambung ke angkasa, Za. Dan saat dia merasa sudah berada di Nirwana, maka aku akan menghempaskannya ke dalam kerak bumi tanpa belas kasih," sahut Diana.

"Nanti aku bantu memperdalam galian menuju kerak buminya, Na. Biar dia tahu bagaimana panasnya berada di kerak bumi."

Rudi mengunci pintu ruangannya, lalu mulai berjalan mondar-mandir di dalam dengan perasaan gelisah. Keringat dingin mengucur deras di pelipisnya, membuatnya beberapa kali harus menyeka peluhnya dengan tisu. Kedua matanya kini terarah pada selembar kertas yang tidak pernah ia duga akan datang padanya.

AKU TAHU APA YANG KAMU LAKUKAN PADA TAHUN 2006 TERHADAP ANINDIRA SEKAR. KAMU MEMBUNUHNYA DAN MENGUBURNYA DENGAN CARA TIDAK LAYAK. HELMI MEMBANTUMU MENUTUPI KEJAHATAN ITU DAN KAMU MEMBAYARNYA, AGAR DIA TIDAK BUKA MULUT. BAGAIMANA? APAKAH KAMU PIKIR SEKARANG SETELAH HELMI MATI KAMU BISA BEBAS BERJALAN TANPA ADA YANG TAHU SOAL KEJAHATANMU? BUKU AGENDA MILIK HELMI AKU TEMUKAN DI TEMPAT SAMPAH, SEKARANG BUKU AGENDA ITU AKAN MENJADI ALAT BAGIKU UNTUK MEMBUATMU MEMBAYAR KEJAHATANMU PADA SEKAR!

Rudi meremas kertas itu dengan penuh emosi. Ia benar-benar merasa buntu sekarang, karena setelah Helmi meninggal dunia ada lagi orang yang mengetahui rahasianya soal pembunuhan Sekar.

"Sial! Sial! Sial!" umpat Rudi, sambil memukuli kepalanya sendiri. "Aku mencurigai Diana, tapi ternyata Diana malah benar-benar membuang buku agenda itu ke tempat sampah. Kenapa aku malah curiga pada orang yang salah, sehingga tidak sadar kalau ada orang lain yang menemukan buku agenda itu? Sekarang aku harus apa? Aku harus bagaimana?"

Rudi mencoba menenangkan dirinya selama beberapa saat. Ia duduk di sofa yang ada dalam ruangannya, lalu kembali menatap ke arah lembaran kertas dalam kotak paket yang tadi diterimanya. Ia melirik ke arah mesin penghancur kertas, lalu dengan sigap meraih semua kertas yang berisi catatan Almarhum Helmi dalam buku agendanya. Buku agenda itu tampaknya sudah difotokopi oleh si pengirim paket, sehingga kini buku itu masih ada pada si pengirim paket. Rudi menyalakan mesin penghancur kertas dan menghancurkan semua kertas tersebut.

"Tidak ada yang boleh tahu. Tidak ada yang boleh membongkar rahasiaku. Aku akan mencari manusia yang sudah berani memgancamku seperti ini. Tidak akan kubiarkan dia hidup tenang. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menemukan di mana jasad Sekar berada. Dia adalah kenang-kenangan bagiku. Kalau aku tidak bisa memilikinya, maka tidak ada yang bisa memiliki dia sampai kapan pun. Jasad Sekar adalah milikku dan sampai kapan pun aku tetap akan menyimpannya sendiri untukku," gumam Rudi, dengan wajah dingin yang tersenyum bengis.

* * *

Rahasia Di SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang