54 | Telepon Dari Rudi

612 62 17
                                    

- UPDATE SETIAP HARI KAMIS & JUM'AT
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Diana meletakkan ponselnya di atas meja makan. Ponsel itu sejak tadi sore terus bergetar dan hanya sesekali terjeda. Sudah jelas dan pasti, bahwa telepon itu berasal dari Rudi yang merasa kalau Diana sulit sekali diajak bicara ataupun dihubungi. Sayangnya, Diana sama sekali tidak peduli. Ia tidak mau tahu apakah Rudi akan merasa marah atau tidak. Karena bagaimana pun, ia juga tahu kalau Rudi akan selalu berhati-hati bersikap terhadap dirinya, dengan alasan bahwa Diana adalah sahabat baik Zuna.

Zuna tiba di rumah Diana setelah selesai mandi dan shalat. Diana terlihat sedang berada di dapur karena harus memasak menu makan malam seperti biasanya. Tatap mata pria itu kemudian tertuju pada layar ponsel Diana. Nama Rudi terpampang jelas di sana, beserta keterangan sudah berapa kali laki-laki itu menelepon dan tidak diangkat.

"Sayang, Rudi masih terus menelepon kamu?" tanya Zuna.

"Iya, Sayang. Dia belum pernah absen meneleponku, sejak aku meninggalkan SMP GENTAWIRA. Mungkin dia mulai berpikir ingin menjadi calon pacar yang posesif untukku," jawab Diana.

Mendengar hal itu dari mulut Diana, membuat Zuna mulai menatap sengit ke arah ponsel yang ada di hadapannya. Pria itu meraih ponsel tersebut, lalu membawanya ke dapur.

"Kalau aku yang angkat, kira-kira bagaimana reaksi Rudi?" Zuna ingin tahu penilaian Diana.

"Mungkin dia akan mondar-mandir dengan gelisah di rumahnya dan tidak sabar menunggu hari esok. Karena ... dia jelas butuh penjelasan tentang mengapa ponselku ada padamu, sehingga kamu bisa mengangkat telepon darinya."

Penilaian yang Diana berikan membuat Zuna segera melaksanakan niatannya mengangkat telepon dari Rudi. Diana tidak memberinya larangan dan justru semakin fokus pada masakan yang tengah ia bumbui. Zuna keluar kembali dari dapur dan memutuskan duduk di sofa ruang tamu sebelum mengangkat telepon dari Rudi.

"Halo, assalamu'alaikum," sapa Zuna, terdengar wajar.

Di seberang sana, Rudi sempat terdiam selama beberapa saat sebelum memberi respon atas sapaan yang ia terima.

"Wa--wa'alaikumsalam. Zuna? Ponselnya Diana sedang kamu pegang?" tanya Rudi.

"Iya, Rud. Ponselnya Diana sedang aku pegang sejak dia pulang kerja. Sebelum aku menghadap pada atasanku sore tadi, Diana mendadak meminta tukar ponsel. Katanya dia bosan memakai ponselnya dan ingin memakai ponselku. Maka dari itulah aku tidak mengangkat telepon dari kamu sejak tadi. Aku baru saja selesai rapat dengan atasanku," jelas Zuna.

Mendengar hal itu, tentu saja Rudi merasa geram setengah mati. Ia merasakan cemburu karena tahu hal baru, bahwa kedekatan Diana dan Zuna sudah sampai pada tahap saling bertukar ponsel. Namun karena tidak ada hubungan antara dirinya dan Diana, maka Rudi jelas tidak bisa melakukan protes terhadap apa yang dilakukan oleh Diana ketika bersama Zuna.

"Rud? Kamu masih mendengarku, 'kan?" tegur Zuna, seakan tidak tahu kalau Rudi sedang merasa marah.

"Oh ... iya, Zu. Aku dengar, kok. Oke kalau begitu. Nanti sampaikan saja pada Diana kalau kamu bertemu dia lagi, bahwa aku telah berusaha meneleponnya," pinta Rudi.

"Oke. Nanti kalau aku ketemu Diana lagi, baru aku akan memberitahunya."

"Oke. Aku tutup dulu teleponnya, Zu. Assalamu'alaikum."

"Ya. Wa'alaikumsalam."

Setelah sambungan telepon itu benar-benar terputus, Diana akhirnya melepas tawa yang sejak tadi ia tahan-tahan. Di tangannya sendiri sudah ada ponsel milik Zuna yang sedang tersambung pada Reza.

"Kamu dengar itu, Za? Zuna jelas jauh lebih profesional dalam berakting daripada aku. Rudi pun dibuat mati kutu saat bicara dengannya," ujar Diana.

"Kalau boleh jujur, aku ingin sekali menanyakan satu hal pada kalian berdua. Dulu kalian itu sempat ikut sekolah akting atau bagaimana, sih? Kok bisa kalian berakting senatural itu sampai tidak bisa dibantah oleh lawan bicara? Bisa-bisanya loh Rudi langsung mati kutu, padahal Rudi setahuku biasanya hobi mendebat orang-orang yang bicara dengannya," nilai Reza.

Zuna segera meraih ponselnya dari tangan Diana, sambil melingkarkan lengan kanannya yang bebas pada pundak wanita itu.

"Gimana cara bilangnya, ya, Za? Akting adalah bakat alami kami berdua sejak lahir, dan bakat itu sama sekali tidak bisa dihilangkan," imbuh Zuna.

"Itu benar," tambah Diana. "Seperti kelebihan yang ada pada kedua mata kami untuk melihat hal-hal tak kasat mata, akting pun adalah bakat lainnya yang sudah terbawa sejak lahir."

Reza pun terkekeh di seberang sana. Sekilas, Zuna maupun Diana bisa mendengar suara seseorang yang sepertinya sedang bicara begitu pelan di sisi Reza. Diana jelas tidak kepikiran bahwa itu adalah Lia, sementara Zuna menduga kalau Reza memang belum pulang ke rumahnya dan masih bersama wanita itu.

"Oh ya, Za, kita mau makan malam dulu. Diana baru selesai masak dan aku jelas tidak mau membiarkan masakan lezatnya menjadi dingin di meja makan. Nanti aku akan telepon kamu lagi. Insya Allah," janji Zuna.

"Ya, segeralah makan masakan Ratumu tercinta, Zu. Jangan sampai nanti dia ngambek karena kamu tidak mempedulikan masakan yang sudah dia sajikan," balas Reza.

"Eh? Mana mungkin aku begitu? Aku enggak pernah ngambek, kok, sama Zuna selama ini," sanggah Diana.

"Hm, iya ... iya ... aku percaya kok. Waktu kamu menggerutu soal warna tumbler hijau neon yang Zuna pilih, itu jelas bukan ngambek namanya. Iya, 'kan? Aku benar, 'kan?" ungkit Reza, dengan sengaja.

"Sudah dulu, Za! Aku sudah kelaparan! Assalamu'alaikum!" pamit Zuna, yang kemudian menutup telepon sebelum Reza menjawab salam.

Diana pun langsung menatap sengit ke arah Zuna, sementara Zuna memilih tersenyum lebar di saat membalas tatapannya.

"Aku sayang kamu, Na. Sayang ... banget!" rayu Zuna.

"Enggak mempan, Zu. Aku sedang tidak mau menerima rayuan dari kamu. Aku juga tidak mau menerima gombalan dalam bentuk apa pun. Selama warna tumbler itu masih hijau neon dan Reza bisa membuatnya jadi bahan ungkit untuk membuatku kesal, maka aku enggak akan mau dengar rayuan atau gombalan darimu. Semanis apa pun itu!" tegas Diana.

"Yakin?" tanya Zuna.

"Yakin! Seribu persen!" jawab Diana.

"Kalau habis makan terus aku mengajakmu mendengarkan alat penyadap yang kutanam pada kardus milik Beni dan Mita, apakah kamu juga tetap tidak mau?" goda Zuna.

"Eh, kalau yang itu sih mau. Mau banget aku, Zu."

Diana benar-benar memberi jawaban tanpa banyak berpikir. Wajah paniknya yang begitu lucu membuat Zuna mencoba menahan tawa.

"Katanya tadi kamu enggak mau mendengar rayuan atau gombalan dari aku. Ya udah, lebih baik jangan ikutan dengar. Biar aku saja yang dengar sendirian."

"Zuna! Aku ngamuk, nih!" ancam Diana.

Zuna langsung terkikik geli saat mendengar ancaman Diana kali itu. Ia sudah sering mendengar Diana mengancam akan mengamuk padanya, tapi baru kali itu ancamannya terdengar sangat manis di telinga.

* * *

Rahasia Di SekolahDove le storie prendono vita. Scoprilo ora