Chapter Empat

166K 27.9K 19.1K
                                    

P E M B U K A A N

•Tokoh dalam cerita Toxic hanyalah imajinasi penulis, tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan RL visualnya•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


•Tokoh dalam cerita Toxic hanyalah imajinasi penulis, tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan RL visualnya•

⚠️Bijaklah dalam berkomentar⚠️

***

"Sorry. Jaket lo basah. Kalau mau marah, marahin aja kayak biasanya. Nggak usah peduliin kondisi gue sekarang, apalagi ngerasa kasihan."

Mia menyeka kasar air mata yang menggenang di pipi lalu meloloskan diri dari dekapan Akbar. Hatinya sedikit lega setelah menumpahkan rasa sakitnya lewat raung tangis dan air mata. Dirasa pipinya sudah bebas dari air mata, Mia memaksa bibirnya untuk tersenyum. Berusaha sebaik mungkin untuk tidak menunjukkan kekacauannya.

Akbar masih diam di tempatnya, terus memperhatikan Mia yang tertawa hambar menertawakan hal yang sama sekali tidak lucu menurutnya. Seperti itulah Mia jika sedang kacau. Bertingkah sedikit aneh. Setidaknya tingkah itu menurut Mia bisa sejenak melupakan kesedihan yang dirasa. Akbar duduk di sofa. Tawaran Mia untuk bernyanyi bersama, ia tolak.

Dadanya sesak melihat Mia melompat-lompat dan bernyanyi sekeras-kerasnya lalu tiba-tiba diam. Mia memang tidak menangis, namun melihat Mia seperti itu justru membuat Akbar lemah. Ia pun beranjak dan mendekati Mia.

"Mau keluar? Barangkali lo pengin nyari udara seger," tawarnya.

"Katanya miras bisa bikin kita lupa sama masalah. Kepala gue sakit banget setiap mikirin orangtua gue. Boleh nggak kalau gue coba minum, siapa tau bisa temenan sama miras nantinya."

"Gue temen lo, lupa? Ayo! Gue temenin lo jalan-jalan."

"Koloran doang nggak papa?"

"Kalau lo nyaman, silakan."

"Gue nyaman. Ayo jalan! Ini plus traktir makan sama minum, kan? Nggak cuma ngajak jalan?"

Akbar mengangguk lemah sebagai jawaban. Mia bersorak girang lalu berlari meninggalkan Akbar. Cewek itu terlihat begitu tidak sabar. Akbar membuka lemari pakaian Mia. Ia mengambil jaket yang mungkin akan dibutuhkan cewek itu. Tidak mau membuat Mia lama menunggu, Akbar berlari menyusul.

Mia menangkap jaket yang dilempar Akbar. Cewek itu mengenakan dengan cepat sebelum naik ke motor Akbar. Tidak butuh tawaran atau perintah dari Akbar, Mia langsung memeluk pinggang Akbar seperti biasa setiap dibonceng cowok itu. Punggung Akbar masih menjadi tempat sandaran yang nyaman, Mia pun menyandarkan tubuhnya di sana begitu motor melaju pelan.

"Kalau emang udah nggak ada yang bisa dipertahanin, kenapa nggak pisah aja, sih?"

"Gue nggak masalah kalau orangtua cerai daripada bersatu tapi kayak gini."

"Kalian selalu minta gue ngertiin. Pernah nggak kalian sekali aja ngertiin gue?"

Akbar membiarkan Mia berbicara sendiri. Inilah tujuannya mengajak Mia jalan-jalan. Saat seperti inilah, Mia berbicara dengan angin malam. Untuk berterus terang soal perasaan padanya, mungkin Mia terlalu sungkan sehingga selama ini Mia lebih banyak mengajak alam bicara. Sekalipun alam tidak memberi jawaban apapun.

ToxicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang