Chapter Tiga Puluh Empat

76.8K 19.9K 96.1K
                                    

P E M B U K A A N

•Tokoh dalam cerita Toxic hanyalah imajinasi penulis, tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan RL visualnya•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•Tokoh dalam cerita Toxic hanyalah imajinasi penulis, tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan RL visualnya•

⚠️Bijaklah dalam berkomentar⚠️


Seger, ya, liatnya 🐒

Astagfirullah 🙏🏻😭

Warning
*chapter ini super pendek. Nggak ada ½ dari yang biasa aku tulis per chapter karena vote nggak mencapai target jadi aku bagi 2

Emot buat chapter ini mana?

Soal lama update, itu karena siders banyak kwkw. Coba kalau rajin vote, nggak nyampe 3 hari harusnya udah update lagi 😹

***

Saat pintu gerbang sekolah sudah berada dalam jangkauan mata, Akbar berusaha untuk mengontrol diri. Ia mulai memerangi emosi yang tersulut sejak berdebat sengit dengan Mia yang keras kepala. Meskipun sulit, Akbar harus bisa berdamai dengan emosi yang akhir-akhir ini membuatnya terlihat begitu buruk. Sungguh, bukan itu tujuan hidupnya. Ia masih ingin menjadi yang terbaik.

Setelah memarkirkan motornya, Akbar melangkah menuju pintu gerbang untuk menawarkan bantuan pada guru piket untuk menyidak atribut siswa.

"Akbar!"

Mendengar namanya dipanggil, Akbar yang tengah menulis pelanggaran di buku catatan BK, mengangkat dagu. Cowok itu tersenyum sopan lalu menghampiri Ivan yang sepertinya mengantar Zanna.

Ivan tersenyum lebar saat Akbar menyapa dengan begitu sopan usai mencium punggung tangannya. Hal-hal tentang Akbar memang selalu membuatnya kagum. "Kabar Om baik. Kok nggak pernah mampir lagi, Bar?"

"Lagi nggak senggang, Om," alibi Akbar.

"Ah iya, Om paham. Nana sering cerita soal kamu. Pasti lagi banyak kegiatan, ya, apalagi kamu ikut OSIS sama aktif ikut banyak ekskul. Kalau ada waktu senggang, main lah Bar sama Nana. Atau ajak Nana gabung ke ekskul-mu ...."

"Papa," sela Zanna merasa tidak enak hati pada kakak kelasnya yang nampak kurang nyaman dengan obrolan yang menjurus pada paksaan.

"Na, lo kalau emang minat gabung ke ekskul gue, bilang aja. Nanti gue bantu koordinasiin ke pembimbing."

Ivan mengelus punggung putrinya. "Tuh Nana denger, kan? Nana nggak ada alasan lagi buat nggak ikut ekskul. Oh, ya, Bar ... kantin di mana, ya? Nana belum sarapan, Om mau nyari sarapan buat Nana."

"Papa ...." Zanna merengek frustrasi. "Papa berangkat aja, nanti Nana cari sarapan sendiri," sambungnya.

"Zanna belum sarapan?" tanya Akbar memastikan.

ToxicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang