Chapter Tiga Puluh Tujuh

95.6K 19.8K 31.1K
                                    

P E M B U K A A N

 •Tokoh dalam cerita Toxic hanyalah imajinasi penulis, tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan RL visualnya•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•Tokoh dalam cerita Toxic hanyalah imajinasi penulis, tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan RL visualnya•

⚠️Bijaklah dalam berkomentar⚠️




✨parkir✨

***

Tari tersenyum lalu balik bertanya. "Inget nggak waktu Mia bilang pengin punya mama kayak Tante?"
Usai menanyakan itu, ia meraih pundak Mia, mengelus pelan, lalu menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga cewek yang berdiri kaku di sisi kirinya.

Mia berusaha berpikir positif, tapi tidak bisa. Serangkaian peristiwa yang sudah terjadi mengarah ke satu kesimpulan yang belum siap ia terima. Mia juga menduga jika ini ada kaitannya dengan Akbar yang mengiyakan permintaannya agar cowok itu pergi dari kehidupannya.
Jika mengingat kembali pada usaha dan seberapa keras cowok itu mempertahankannya, kesediaan Akbar untuk pergi terlalu mustahil.

Semudah itu? Konyol. Mia mengenal baik bagaimana watak seorang Akbar. Dan kemana Akbar yang biasa keras padanya?

Seharusnya ia curiga sejak awal.

Kalau Akbar memang ada niat untuk meninggalkannya, kenapa tidak dari dulu? Segala tingkah buruknya sudah cukup menjadi alasan untuk pergi. Tapi Akbar memilih bertahan dengan segala hal yang menyulitkan cowok itu.

Lalu kenapa baru sekarang? Apa karena cowok itu sudah tahu lebih dulu soal ini? Mia mencibir dalam hati. Sepertinya memang iya.

Melihat ayahnya dan Tante Tari yang saling memandang dan melempar senyum, lagi-lagi Mia harus menelan kenyataan pahit.
Bahkan ini jauh lebih menyakitkan, sekalipun Akbar hanya sebatas mantan pacarnya. Jika Tuhan memang tidak mengizinkannya untuk bersatu dengan Akbar, masih ada banyak cara. Tidak harus menjadikan cowok itu sebagai saudaranya, kan? Terlalu banyak kekecewaan yang harus ia telan jika itu benar-benar terjadi.

"Mas, jadi pergi sekarang?" tanya Tari. Wanita itu masih mengusap punggung Mia yang tak merespons pertanyaannya tadi.

"Jadi. Ini Mia pake piyama ngga papa, kan? Nggak mau ganti baju soalnya, kamu tau sendiri Mia gimana. Mau dipaksa, kalau dia nggak mau, ya susah."

"Nggak papa, Mas. Nggak masalah. Yang penting Mia nyaman. Lagian ini cuma makan malam biasa. Mau ngobrol santai aja jadi senyamannya Mia," balas Tari.

Menyadari sikap yang tidak biasa, Tari mengelus kepala Mia penuh sayang. "Mia kok diem aja? Biasanya berisik. Lagi ada masalah, kah? Sini cerita sama Tante. Mia, kan, mau jadi anaknya Tante juga. Mia boleh cerita apapun. Tante pasti dengerin."

Mia menggeleng. "Kenapa harus Tante orangnya? Kenapa harus Tante yang jadi mamanya Mia?"

Perihal ia yang menginginkan mama seperti Tante Tari memang benar, tapi bukan dengan cara semenyakitkan ini.

ToxicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang