Satu

17.3K 793 29
                                    

Susana malam disalah satu sirkuit balap yang ada di kota Jakarta ini sedikit ramai oleh sekumpulan anak remaja yang terlihat sedang menonton suatu pertunjukan. Padahal, waktu sudah menunjukan hampir pukul setengah dua belas malam.

Di depan sana, terdapat dua remaja lelaki yang tengah bersiap di atas motor besarnya. Tatapan matanya yang sengit itu terpancar ketika dua mata pemuda itu beradu. Di samping kanan dan kiri terdapat kumpulan kubu masing-masing yang saling bersorak.

Di tengah-tengah mereka sudah ada seorang wanita muda yang terlihat membawa bendera, bersiap mengibarkannya sebagai tanda bahwa permainan akan segera dimulai.

“One two three GO!!!!”

Kedua motor itu langsung melaju dengan cepat, disusul dengan sorakan penonton yang terdengar semakin keras. Para penonton menunggu digaris finish dengan gelisah, kira-kira siapa yang akan memenangkan pertandingan sengit malam ini.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya suara motor itu kembali terdengar, semakin dekat, dan akhirnya terlihat, pemain dengan motor berwarna hitam itu memimpin didepan.

“YEAAAYYY!!!”

Pendukung sang motor hitam pun berteriak ketika jagoan mereka berhasil mencapai garis finish terlebih dahulu, disusul pemain lainnya.

“Haidan menang, yuhuuu!!!!”

Salah satu sahabat Haidan yang sedari tadi terlihat heboh datang memeluk sembari menepuk punggung sang pemenang. Ia menghampiri lawannya dengan tampang belagunya.

“Lihat, 'kan?

Haidan tersenyum—meremehkan sang lawan yang menantang dirinya dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi, namun ternyata ia sendiri yang kalah. Pemuda tampan yang menjadi lawannya hanya mendecih di depan Haidan.

“Lo boleh menang sekarang, tapi lihat aja nanti. Gue bakal bales semua perbuatan lo, gue gak bakal lupa atas apa yang udah lo lakuin waktu itu!” ucap lelaki itu menatap Haidan tajam.

Haidan menepuk pundak lelaki itu dan mendekatkan wajahnya, “kabarin aja, kapanpun itu gue siap buat ngalahin lo.”

Bangsat!”  lelaki itu menepis tangan Haidan kasar, dan langsung berjalan meninggalkan Haidan yang masih tersenyum meremehkan.

“Kena mental gak tuh, udah nantangin, kalah lagi.” celetuk Yudis, sahabat Haidan.

“Udahlah, gak usah diledekin mulu, kasian nanti dia nangis."

“Ayo cabut, kita susul anak-anak di basecamp.” Haidan kembali menaiki motornya, meninggalkan sirkuit yang masih terlihat ramai.

•••••

Haidan memasuki halaman rumahnya yang sudah terlihat sepi. Pasti semua penghuni rumah itu sudah tertidur. Wajar saja, jam ditangannya sudah menunjukan pukul dua pagi. Ia berjalan memasuki rumah dengan santainya, saat ia akan menaiki tangga, tiba-tiba lampu menyala, di ujung ruangan, Anton— sang Ayah berdiri dengan wajah tegasnya.

Haidan hanya mendengus melihat sang Ayah, sudah dipastikan Anton akan marah-marah, tak peduli jam berapapun itu.

“Sudah hebat ya, kamu. Jam segini baru pulang.”

Haidan hanya diam, berdiri dihadapan sang Ayah yang masih menatap dirinya dengan angkuh.

“Kenapa kamu jadi anak susah sekali diatur, mau jadi apa kamu, Haidan?!!”

“Kerjaannya main terus, kenapa kamu gak kaya adik kamu yang nurut sih, Dan. Ayah Capek kalau harus marah-marah setiap hari gara-gara kelakuan kamu!”

Lost | Jeno Haechan✓Where stories live. Discover now