Dua puluh delapan

3K 410 10
                                    

Beruntungnya langit malam hari ini terlihat begitu cerah dengan adanya bintang yang bertaburan di atas sana, jangan lupakan bulan yang berbentuk sabit itu juga ikut menghiasi langit malam ini.

Kenapa beruntung, tentu saja karena malam ini Hanan berhasil membawa Ayahnya datang ke rumah sang Ibu, sudah pasti bersama dengan Rosa dan juga Nana. Setelah satu minggu menunggu hari yang pas, akhirnya malam ini rencana itu baru terlaksana. Mengingat sang Ayah memang sibuk bekerja di kantornya.

Di sana terlihat ada Ibu dan juga Rosa yang sedang menyiapkan meja untuk acara makan malam mereka. Sedangkan diseberang sana, ada Haidan dan juga Nana yang sedang memanggang daging diatas bara api, jangan lupakan Anton yang juga ikut andil dalam hal ini. Lalu, dimana Hanan? Bukankah ia yang punya rencana ini? Oh, ternyata Hanan juga punya tugas tersendiri, rupanya ia sedang mempersiapkan minuman di dalam dapur rumahnya.

Karena cuacanya cerah, mereka memutuskan untuk mengadakan barbeque kecil-kecilan halaman belakang rumah Ibu, kata Hanan sebagai tanda perdamaian antara dua keluarga, hm.

“Haidan, itu dagingnya gosong. Dih, gue nyuruh lo ngipasin ya bukan malah makan.” Nana mendengus sembari membalik daging yang sedikit gosong itu, memang benar, jangan mengandalkan Haidan jika itu adalah urusan dapur. Anak itu bisa saja menyebabkan kebakaran dadakan.

“Gue nyicipin doang, enak apa gak.” dengan tampang tanpa dosanya Haidan menyantap daging itu di hadapan Nana.

Hanan kembali dari dapur dengan nampan yang penuh berisi minuman yang baru saja ia buat. Ia meletakan gelas-gelas tersebut di atas meja yang sudah Ibu siapkan sebelumnya. Setelah menata semua minuman itu, ia berjalan menghampiri kedua adiknya yang masih sibuk berkutat dengan daging mereka.

“Dih, ini kok ada yang gosong?” celetuk Hanan ketika melihat hasil karya Haidan beberapa saat yang lalu.

“Ulah kembaran lo tuh. Biarin aja, biar dia yang makan tuh daging gosong.” Nana masih saja dongkol dengan tingkah Haidan.

“Jahat banget lo, Na sama kakak sendiri.”

“Abang gak usah deket-deket situ, banyak asapnya. Mending kamu kerjain yang lain aja, Bang.” ujar Ibu dari seberang sana, mengerti akan maksud sang Ibu, Haidan mengambil alih kipas yang tadi sempat Hanan ambil darinya.

“Udah sana lo masuk aja, ambil piring lagi buat nih daging.” Haidan mengibaskan kipas tersebut ke arah Hanan, bermaksud mengusir Hanan dari hadapannya.

Tanpa banyak bicara, Hanan kembali melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan menyiapkan beberapa piring yang dibutuhkan.

Ketika sedang menyiapkan beberapa piring seperti yang Haidan perintahkan sebelumya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh Haidan yang berlari masuk ke dalam rumah. Bahkan Haidan tidak sengaja menyenggol lengan Hanan, untung saja anak itu bisa menjaga keseimbangannya, sehingga piring yang ada ditangannya tidak terjatuh begitu saja.

Hanan menatap sang kembaran dengan heran, kenap Haidan sangat tergesa-gesa, Haidan bahkan tidak berhenti ketika menyenggol lengannya. Ia melihat Haidan menaiki tangga dan berakhir masuk ke dalam kamarnya, terbukti dengan adanya bunyi bantingan pintu yang cukup keras dari lantai atas.

Hanan tidak mempermasalahkan hal itu dan kembali melanjutkan kegiatannya, ia berjalan kembali menuju halaman belakang, memberika beberapa piring tersebut kepada Nana, yang langsung digunakan untuk wadah beberapa daging yang sudah matang.

“Haidan ngapain sih, kok dia lari-lari masuk ke dalam?”

“Mau ke toilet, mules kali gara-gara makan daging gosong, biarin aja. Salah dia sendiri.” celetuk Nana dengan muka asamnya. Hanan terkekeh, rupanya sang adik masih saja dongkol dengan Haidan.

Lost | Jeno Haechan✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang