Delapan belas

3.2K 404 15
                                    

“Yah, pitak deh kepala gue!”

Haidan meraba kepalanya yang kemarin sempat dijahit, beruntung lukanya tidak terlalu besar sehingga tidak meninggalkan luka yang besar, tapi tetap saja yang namanya dijahit pasti ada bekasnya.

“Botakin aja sekalian,” celetuk Yudis, temannya itu sedang duduk santai di sofa sembari memakan buah jeruk yang tersedia diatas meja.

“Pala lo sini gue botakin!”

“Mending kita botakin aja si Tirta monyet itu, dendam banget gue sama dia!”

Haidan terkekeh mendengar perkataan Yudis.

“Udah lah, gue udah menang. Dia harus nepatin janjinya,”

“Dan, sumpah ya gue masih gak nyangka ternyata hidup lo se-drama ini,”

Haidan sudah menceritakan persoalan dia dan sang kembaran, Hanan. Yudis terkejut mengetahui semua fakta itu, Haidan ternyata saudara kembar Hanan, mantan ketua osis yang hobinya memberi hukuman kepada Haidan.

Bagaimana bisa mereka bersikap seperti orang asing, padahal mereka sendiri tahu keadaan mereka yang sebenarnya.

“Bisa-bisanya lo berdua bisa bersikap biasa aja disaat lo berdua tau keadaan kalian yang sebenarnya,” lanjut Yudis.

“Akting gue bagus berarti, pantes jadi actor nih gue,” celetuk Haidan.

“Tapi Dan, Hanan kenapa bisa dirawat disini juga?”

Haidan menoleh, menatap Hanan yang tertidur dengan posisi membelakangi mereka berdua.

“Hanan sakit, Yud.” jawab Haidan singkat.

“Sakit apa?” tanyanya penasaran.

“Jantung.”

“HAH?”

Yudis kembali berteriak, drama apalagi ini. Kenapa hidup temannya itu penuh dengan lika-liku.

“Brisik anjir, lo hah heh mulu nanti Hanan bangun!”

“Serius?” tanya Yudis masih tak percaya.

“Serius lah, lo tau sendiri, 'kan kalau Hanan sering gak masuk sekolah, ya itu alesannya.”

“Sejak kapan?”

“Dari lahir.”

Yudis kembali dibuat melongo saat mengetahui fakta dari pasangan saudara kembar tersebut. Ia kira berurusan dengan Tirta saja sudah membuat hidupnya rumit, ternyata hidup sang sahabat jauh lebih rumit.

•••••

Nana berjalan menuruni tangga rumahnya dengan sedikit tergesa-gesa. Ia sudah rapi, memakai celana jeans panjang dan juga jaket yang membungkus tubuh kurusnya.

“Na, mau kemana?” tanya Anton yang sedang membaca koran di bawah sana sembari menikmati secangkir kopi.

“Pah, Nana mau kerumah sakit dulu, ya. Mau jenguk Haidan,”

“Papa gak mau kerumah sakit lagi?” sambungnya.

“Mau ngapain?”

“Ya jenguk mereka lah, Pah. Anak Papa dua-duanya ada disana, loh?!”

“Udah ada Ibu disana, buat apa Papa kesana. Haidan juga gak pengin Papa ada disana.”

Nana menatap Anton tak percaya, “Pah?!”

“Papa gak sadar juga dengan apa yang udah papa lakuin sama Haidan kemarin?” lanjutnya.

“Papa harus gimana, Na. Haidan sendiri yang bilang kalau semua ini atas dasar kemauan dia, Haidan juga lebih milih Ibu dari pada Papa.”

Lost | Jeno Haechan✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang