Empat puluh satu

3.7K 422 23
                                    

Berbeda dengan hari kemarin, cuaca pagi ini terlihat lebih cerah, sinar matahari yang terasa hangat itu menjadi salah satu saksi bisu kepulangan satu jiwa ke rumah Sang Pencipta.
Pemakaman Hanan berlangsung pagi ini, dengan sangat terpaksa tanpa adanya sang belahan jiwa yang masih terbaring di ranjang rumah sakit.

Ibu menatap raga yang sudah tak bernyawa itu dengan tatapan sendu. Raga yang ia lahirkan dan ia rawat dengan penuh kasih sayang, sekarang ia sendiri yang menyaksikan bagaimana raga itu menyatu dengan tanah.

Hanan itu istimewa, biarpun sakit anak itu tidak pernah mengeluh apapun apalagi sampai rewel dan manja kepada dirinya. Ia anak yang mandiri dan kuat, bahkan hingga akhir hidupnya. “Selamat istirahat, anak Ibu..”

Air matanya kembali menetes ketika dengan perlahan gundukan tanah itu terbentuk. Setelah selesai, ia menghampiri pusara sang putra, menaburkan bunga di atas rumah baru Hanan, mengusap nisan bertuliskan nama sang anak.

Tidak pernah terbayangkan bahwa hari itu tiba secepat ini, baru saja ia merasakan kembali keluarga yang utuh bersama dengan kedua putranya, sekarang si sulung pergi. Dunia Ibu hancur dan runtuh seketika, namun ia harus tetap berdiri kuat demi raga yang lain, raga yang pasti sangat membutuhkan bahu untuk bersandar, siapa lagi jika bukan si bungsu yang juga sedang berjuang dengan hidupnya.

Tak berbeda jauh dengan Ibu, Anton juga menatap pusara sang putra dengan tatapan kosong. Ia menyesal, sungguh sangat menyesal kenapa tidak dari dulu memperlakukan Hanan layaknya seorang anak. Ia menyesal, kenapa ia malah menyia-nyiakan anak istimewa seperti Hanan. Namun memang sudah hukum alam, penyesalan selalu datang di akhir cerita.

“Selamat jalan, Nak. Maafin Ayah ya, tunggu Ayah disana, semoga kita bisa bertemu kembali.”

Nana berdiri di samping Anton, ia menatap nisan bertuliskan nama sang Kakak di sana, mata sembabnya ia sembunyikan di balik kaca mata hitam yang ia kenakan. Perlahan, ia berjongkok di samping pusara Hanan, mengusap nisan itu pelan.

“Gue gak nyangka lo pergi secepat ini, Nan. Gimana caranya gue jelasin sama Haidan nanti, lo tau sendiri adek lo itu gimana kalau hidup tanpa lo?”

“Selamat jalan, Abang. Bahagia disana, ya. Haidan aman sama gue. Jangan ajak Haidan buat ikut sama lo ya, Bang.”

“Gue pamit ya, Nan. Besok-besok gue bawa Haidan kesini kalau dia udah bangun.”

Nana kembali bangkit, menyusul Ibu dan juga Anton yang sudah berjalan terlebih dahulu, mereka harus segera kembali ke rumah sakit untuk menjaga Haidan.

Sesampainya di rumah sakit, Ibu langsung mendudukan dirinya di samping Haidan. Menggenggam erat tangan lemas sang anak. Haidan masih setia memejamkan matanya pasca operasi pencangkokan ginjal yang langsung ia lakukan kemarin. Kondisinya drop seusai mengetahui perginya sang kembaran.

“Bangun yuk, Nak. Katanya kamu mau lihat Abang.”

Anton mendekati mantan istrinya yang masih terus menangis di hadapan Haidan, “Rika, lebih baik kamu istirahat dulu. Biar aku yang jagain Haidan,”

“Aku gak papa, Mas. Aku mau nunggu sampai Haidan bangun, aku gak mau kehilangan anak aku lagi.”

Anton menghela napas, ia sangat mengerti bagaimana perasaan Rika. Ditinggal seorang anak yang begitu ia sayangi bukanlah hal yang mudah.

•••••

Hari ketiga semenjak kepergian Hanan, semuanya masih sama, tidak ada yang berubah. Bahkan Haidan masih enggan membuka matanya hingga sekarang. Entah sudah berapa banyak air mata yang Ibu keluarkan hanya untuk menangisi kedua anaknya.

Pagi ini, Ibu kembali menatap wajah sang anak yang terlihat begitu pucat. Tangannya yang tertancap infus selama beberapa hari terakhir itu terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Ibu sendiri bingung, kenapa Haidan belum juga membuka matanya, padahal menurut dokter yang menangani Haidan, operasi itu berhasil dan kondisi Haidan berangsur membaik.

Lost | Jeno Haechan✓Where stories live. Discover now