Dua

7.8K 655 30
                                    

Haidan masuk kedalam kelasnya ketika jam istirahat pertama sudah habis, baginya hal tersebut adalah biasa. Untuk apa ia masuk cepat-cepat kalau dari awal saja sudah terlambat.

Ia duduk di bangku paling belakang, sedangkan Yudis duduk di bangku bagian tengah. Dulu mereka duduk satu bangku, tapi karena sama biang keroknya jadi wali kelas mereka memisahkan tempat duduk mereka berdua.

Haidan menatap Hanan dengan tajam ketika anak itu menoleh kebelakang. Sedangkan Hanan menahan tawa melihat raut wajah Haidan yang menurutnya sedikit 'gemas' saat sedang marah.

Bel sekolah sudah berbunyi lima belas menit yang lalu. Namun, Haidan masih berdiam diri didalam kelasnya, terlihat sedang memainkan ponselnya dengan serius, Yudis sudah pulang terlebih dahulu meninggalkan Haidan.

Hanan yang baru saja kembali dari ruang OSIS itu menatap Haidan heran, tumben sekali anak itu masih di kelas. Ia memasukan buku-bukunya kedalam tas kemudian melirik Haidan yang masih duduk diam.

Ia berjalan menghampiri Haidan. “Haidan?” panggil Hanan. Ia berdiri disamping kanan meja Haidan.

“Apaan?” jawab Haidan ketus.

“Tadi malem lo balapan lagi?” tanya Hanan serius.

“Bukan urusan lo,” Haidan berdiri, mengambil tasnya yang tergeletak diatas meja.

“Tunggu, gue belum selesai ngomong.”

Haidan berhenti, membalikan badannya dan menatap tajam kearah Hanan.

“Kenapa, sih?”

“Gue udah bilang berkali-kali sama lo, gak usah balapan. Bahaya, gimana kalau—

“Udah ngomongnya?” potong Haidan cepat.

“Mau balapan atau gak, itu terserah gue. Dia gak bakal tau kalau lo gak cepu!” lanjutnya.

“Kita cuma khawatir kalau sampai lo kenapa-kenapa.”

“Udahlah, urusin diri lo sendiri aja. Gak usah capek-capek ngurusin hidup gue!”

Haidan berlalu meninggalkan Hanan yang masih terdiam, dia memang keras kepala. Sekeras apapun Hanan memperingatinya juga percuma, Haidan tak pernah mendengarkannya.

Haidan berdiri diatas motornya, mengencangkan helm sebelum ia melaju pulang. Cengkaramannya pada gas itu terlepas ketika ia merasa ada yang memanggilnya.

“Haidan!!!”

Terlihat dari jauh, sang adik berlari sembari memanggil dirinya. Haidan mendengus dan kembali melepas helmnya.

“Dan, lo mau langsung pulang atau kemana dulu?” tanya Nana dengan napas terengah akibat berlari.

“Mau pulang, kenapa?”

“Tadi Mama whatsapp gue katanya nanti malem kita makan diluar, lo gak kemana-mana, 'kan? Ikut, ya?”

“Gue gak bisa, ada urusan kalo malem.”

“Ayolah, Dan. Sekali aja lo ikut, berasa anak tunggal gue kalo kemana-mana gak ada lo,” rengek Nana.

“Emang, anggep aja lo anak tunggal.”

Lost | Jeno Haechan✓Where stories live. Discover now