Empat puluh dua

3.9K 412 16
                                    

Kesedihan terdalam yang dirasakan setiap manusia adalah ketika kita berpisah dengan seseorang yang tak akan pernah bisa kita sentuh lagi raganya, tak akan bisa kita lihat lagi bayangnya, dan tak akan bisa kita rasakan lagi hadirnya. Hanya memori kenangan yang tersimpan rapi dalam ingatan yang akan mengobati rindu akan sosoknya.

Tatapan mata Haidan yang kosong langsung beralih ketika kursi roda yang ia duduki berhenti tepat di depan pusara yang masih terlihat basah dan dipenuhi dengan taburan bunga.

Kedua tangannya berpegangan erat di kedua sisi kursi, berusaha sekuat tenaga untuk turun dari kursi roda, ia melambaikan tangan kanannya kepada Nana yang dengan sigap hendak membantunya, ia menolak bantuan sang adik.

Mengerti akan situasi ini, Nana dan juga Ibu yang berada di belakang Haidan itu dengan serempak mundur, membiarkan Haidan mencurahkan segala isi hatinya kepada sang kembaran.

“Abang...” lirihnya.

Haidan duduk bersimpuh di atas pusara Hanan, tangannya yang bergetar meraba tanah yang masih terbilang basah dan berlanjut dengan mengusap nisan bertuliskan nama sang kembaran, Hanan Abisatya.

Air matanya seketika turun, sungguh dadanya begitu sakit melihat Hanan yang kini sudah tak lagi berada di sampingnya. “Maaf baru bisa jengukin lo, gimana kabar lo di sana, pasti udah gak sakit lagi, 'kan?”

“Kenapa lo pergi secepat ini, Nan? Gue bahkan belum sempat panggil lo Abang lagi, seperti yang lo minta.”

“Katanya lo pengin main kerumah Ayah, kita nginep bareng disana, tapi kenapa lo pergi dulu, Nan?!”

“Lo tau, 'kan lo itu separuh hidup gue, kalau lo pergi, gimana gue bisa hidup, Nan?!”

Haidan memegang dadanya yang terasa sesak, hatinya berdenyut sakit ketika kenangan bersama Hanan terputar begitu saja, memenuhi ruang otaknya.

“Abang..” Haidan menunduk, ia menangis.

“Kenapa lo kasih ginjal lo buat gue, percuma gue hidup normal dengan dua ginjal kalau gak ada lo disini, Nan!”

Haidan semakin terisak, ia kembali mengingat perkataan dokter Dimas, dokter yang menangani Hanan selama ini.

Beberapa bulan yang lalu, Hanan datang kesini sendirian, saya kira ia ada keluhan dengan jantungnya, ternyata saya salah. Ia datang kesini untuk memeriksakan ginjalnya, ia bilang jika ia pergi nanti ia ingin mendonorkan ginjalnya kepada saudara kembarnya.

Saya sempat menolak itu, namun Hanan tetap bersikeras jika itu hanya untuk jaga-jaga jika suatu hari nanti ada sesuatu terjadi dengan dirinya.

Setelah banyak berkonsultasi dengan saya dan juga dokter Tama, dokter yang menangani Haidan, akhirnya Hanan melakukan pemeriksaan untuk ginjalnya, ia ingin memastikan jika ginjalnya itu sehat jika harus diberikan kepada Haidan.

Beberapa hari kemudian hasil tes itu keluar, ginjal Hanan dalam keadaan baik dan sangat cocok dengan Haidan, ia bahkan sudah menyiapkan surat dan meminta saya menandatangani itu ketika sesuatu yang buruk terjadi dengannya.

“Jadi lo udah jauh-jauh hari berencana mau donorin ginjal lo, Nan? Lo jahat banget sama gue!”

“Gue lebih milih musuhan sama lo tapi gue bisa lihat lo setiap hari, Nan. Gue gak sanggup tanpa lo.”

“Abang.. maafin gue ya, selama ini gue cuma bisa nyusahin lo, maafin gue yang sempat marah sama lo. Maafin gue yang belum bisa jadi adek yang baik buat lo.”

“Makasih buat semuanya. Makasih udah jadi kembaran gue, makasih buat semua pengorbanan lo, makasih buat kehidupan yang udah lo kasih buat gue.”

“Gue sayang banget sama lo, Nan..”

Lost | Jeno Haechan✓Where stories live. Discover now