Tiga puluh tiga

3.1K 429 14
                                    


Ruangan yang sedari tadi sunyi kini sedikit hangat setelah penghuni kamar itu membuka matanya lima belas menit yang lalu, ditemani oleh kedua saudaranya yang terlihat sedang duduk di samping ranjangnya. Sedangkan sang pasien masih terbaring lemas di atas ranjang, kepalanya yang masih terasa pusing semakin sakit ketika mendengarkan adiknya itu mengomel sejak ia membuka matanya.

“Sumpah ya, gue kecewa sama lo, Dan! Lo anggep gue apa sih? Lo gak anggep gue itu adek lo, hah?”

“Bisa-bisanya hal kaya gini lo umpetin dari kita, lo gak butuh orang lain ya, lo mau hidup sendiri, iya?!!”

Nana masih saja mencak-mencak di hadapan Haidan, ia sangat terkejut ketika mendengar cerita dari Hanan. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan pemikiran Haidan.

“Na..” lirih Haidan.

“Apa? Lo mau membela diri, mau beralasan lagi kalau lo gak mau bikin kita khawatir, justru gue lebih khawatir denger lo tiba-tiba collaps kaya gini.”

“Na, jangan marah-marah terus, gue pusing.” lirih Haidan dengan muka melasnya.

Hanan terkekeh melihat kedua adiknya yang terlihat seperti anak kecil, sejujurnya ia setuju dengan semua ucapan Nana, namun ia juga kasihan kepada Haidan yang baru saja sadar sudah dapat omelan bertubi-tubi.

Ia bangkit memegang kedua pundak Nana yang masih terlihat kesal itu dan berusaha menenangkannya, “Udah Na, kasihan kakak lo, lihat tuh mukanya udah kaya orang gak di kasih makan satu minggu.”

Haidan menatap tajam sang kembaran.

“Masih pusing gak?!” tanya Nana masih kesal.

“Na, kalau masih marah jangan nanya dulu deh, jadi takut gue,” nyali Haidan menciut melihat adiknya yang terlihat masih marah.

“Hiks..”

“Loh loh, Na! Kok lo nangis, sih?!”

Haidan yang melihat Nana terisak itu langsung berusaha mendudukan dirinya, sontak Hanan langsung membantu kembarannya itu.

“Na?” panggil Haidan.

Nana mendongak, menghapus air matanya dengan sedikit kasar.

“Apa?!”

“Maafin gue,”

Haidan membawa tangan sang adik, mengusapnya pelan, berusaha menenangkan Nana. Haidan tahu persis bagaimana kebiasaan Nana. Anak itu akan sangat panik jika mendengar orang terdekatnya itu jatuh sakit, apalagi Haidan.

“Gue gak ada maksud buat nyembunyiin ini semua dari lo, gue bakal kasih tau kalian semua, tapi emang nunggu waktu yang tepat. Bukan berarti gue gak anggep lo adek gue atau apapun itu, Na.”

Ucapan Haidan semakin membuat dirinya merasa bersalah. Sedangkan di seberang sana, Hanan tersenyum, ia bangga melihat kembarannya yang biasa manja dengan sang Ibu ternyata bisa bersikap dewasa seperti ini dengan Nana.

“Maafin gue..” ucap Nana pelan.

“Lo gak usah khawatir, gue gak papa.”

Ruangan itu kembali hening, sampai akhirnya pintu ruangannya terbuka, Ibu masuk bersama Anton yang berjalan di belakangnya.

“Loh, Haidan sudah bangun, kenapa gak ada yang panggilin dokter?”

“Gak usah, Bu. Haidan gak papa.”

Anton mendekati Haidan, menatap setiap inchi tubuh sang putra.

“Haidan.,” panggilnya pelan.

“Ayah maafin Haidan, ya. Udah ya, jangan marahin Haidan lagi, tadi udah diwakilin sama Nana.”

ucapan Haidan sukses membuat Anton terkekeh, “gak ada yang mau marahin kamu, Dan. Justru Ayah mau minta maaf sama kamu, maafin Ayah karena Ayah gak tau apa yang kamu rasain selama ini, Ayah juga gak selalu ada disaat kamu butuh Ayah. Maafin Ayah, Nak.”

Lost | Jeno Haechan✓Where stories live. Discover now