Tiga puluh dua

3.2K 415 18
                                    

Rembulan masih setia memancarkan cahayanya ditemani beberapa bintang yang nampak bersinar begitu terang di atas sana. Angin yang berhembus membuat suasana semakin terasa sunyi dan menenangkan.

Namun, tidak dengan Haidan. Lelaki itu beringsut duduk bersandar di kepala ranjangnya, memijit pelipisnya pelan ketika merasa pusing itu kembali datang. Belum lagi sensasi menyengat yang ia rasakan di bagian pinggangnya. Ia menghela napas lelah, akhir-akhir ini ia benci malam. Ia benci saat malam tiba, karena rasa sakit yang sekarang menjadi teman setianya itu selalu datang.

Haidan mengerang pelan, mencengkram pinggang kanannya yang terasa begitu menyakitkan, padahal ia sudah meminum obatnya, namun belum juga bereaksi. Ia benci menjadi lemah, tapi bagaimanapun ia berusaha, ia akan selalu kalah dengan penyakitnya.

Haidan mendesah pelan, memikirkan tentang keputusannya yang telah memberitahu perihal sakitnya kepada sang kembaran dan juga Ibu. Walaupun secara tidak langsung mereka tahu dengan sendirinya, namun tetap saja Haidan berpikir bahwa keputusannya itu salah.

Bagaimana tidak, sebelum masuk ke dalam kamar dan memutuskan untuk tidur. Haidan tidak sengaja mendengar Ibu menangis sendirian di dalam kamarnya, Ibu menangis sembari menyebut nama kedua anak kembarnya. Ia pasti sudah melukai hati Ibunya.

“Maafin Haidan ya, Bu. Dari dulu Haidan cuma bisa nyusahin Ibu,” gumam Haidan pelan.

Haidan kembali merebahkan tubuhnya, menutupinya dengan selimut hingga batas dadanya. Sakitnya masih terasa, namun rasa kantuk itu tiba-tiba datang, membuat ia ingin segera memejamkan kedua mata indahnya, mungkin ini efek obat yang minum.

•••••

Pagi ini cuaca terlihat lebih cerah dari biasanya, membuat sebagian orang lebih bersemangat menjalani aktivitas paginya. Seperti pasangan Ibu dan anak yang terlihat sedang sibuk di dapur rumah mereka. Ibu sedang memasak sarapan untuk kedua anaknya, sedangkan si sulung sedang membantu Ibu menyiapkan meja makan.

“Abang, tolong bangunin Haidan. Udah siang masih aja tidur, bilang suruh sarapan.” koar Ibu yang sedang menuangkan makanannya ke dalam piring.

“Iya, Bu.”

Langkah kakinya terhenti tepat di pertengahan anak tangga ketika ia melihat Haidan yang baru saja keluar kamar dan berjalan menuruni tangga.

“Baru aja mau gue bangunin.”

Hanan kembali berjalan menuju dapur, “Haidan udah bangun tuh, Bu. Ayo makan.”

Ibu hanya mengangguk dan meletakan sarapannya ke atas meja. Haidan masih terdiam menatap Hanan dan juga Ibu yang terlihat begitu semangat menyajikan sarapan.

“Lo ngapain sih disitu, sini makan!” celetuk Hanan.

“Sini, Nak.” ajak Ibu.

Haidan masih diam, bukannya ia tidak mau ikut bergabung bersama mereka, namun tiba-tiba tubuhnya terasa begitu lemas, kepalanya juga pusing sehingga Ibu dan juga Hanan yang ada di depannya terlihat berbayang. Rasanya jika ia maju satu langkah saja pasti tubuhnya itu akan ambruk seketika.

Hanan melihat bahwa Haidan tidak baik-baik saja, apalagi raut wajah sang adik yang terlihat begitu pucat.

“Dan?” Hanan bernajak dari kursi, menyusul Haidan.

“HAIDAN!!!”

Hanan berlari, menangkap tubuh adiknya yang tiba-tiba saja ambruk, untung saja Hanan sempat menangkap tubuh Haidan sebelum jatuh dan menghantam dinginnya lantai. Mata iti terpejam, dapat Hanan rasakan suhu tubuh Haidan begitu tinggi ketika kulit mereka bersentuhan.

Lost | Jeno Haechan✓Where stories live. Discover now