Tiga

5.6K 577 20
                                    

Rika membuka tirai jendela kamar Hanan, tumben sekali Hanan belum bangun, padahal matahari sudah mulai naik kepermukaan sejak tadi. Cahaya matahari seketika langsung masuk kedalam kamar lelaki itu melalui celah jendela yang ada disana. Sang anak masih saja terdiam di atas kasur empuk miliknya. Rika menghampiri Hanan dan menggoyangkan bahu Hanan pelan.

“Hanan, bangun, yuk. Udah siang, kamu gak sekolah, Nak?”

Hanan menggeliat pelan, menatap sang Ibu yang tengah tersenyum kearahnya.

“Ibu,” lirih Hanan.

“Kenapa, Hanan? Kamu sakit?” tanya Ibu khawatir.

Hanan mendudukan dirinya dihadapan sang Ibu. “Gak, Bu. Hanan gak papa, tadi malem Hanan agak malem aja tidurnya,”

“Ya sudah kamu mandi dulu, ya. Ibu siapin sarapan dibawah.”

Hanan hanya mengangguk dan tersenyum, menatap sang Ibu yang sudah keluar dari kamarnya. Seketika Hanan memegang dada kirinya erat, nyeri itu datang lagi. Namun, ia berusaha menahannya didepan sang Ibu, tidak ingin membuat Ibu khawatir. Hanan menghirup oksigen dengan sekuat tenaga, berharap bisa menghilangkan sesak yang mendera didalam dadanya.

Hampir seumur hidupnya ia berteman dengan rasa sakit, namun tetap saja ia tidak pernah terbiasa akan rasa sakit itu. Seberapa kuat ia melawan, pada akhirnya ia akan kembali kalah. Setelah merasa sakitnya sudah berkurang, ia berjalan kearah kamar mandi dan bersiap untuk pergi ke sekolah.

Sepanjang sarapan bersama, Hanan terlihat diam saja dan sedikit lambat memakan makannya. Rika yang melihat ada yang aneh dengan anaknya itu langsung menghampiri Hanan yang memang terlihat sedikit pucat, ia mengusap lembut puncak kepala sang anak dengan penuh kasih sayang.

“Kamu beneran gak papa, Nak?” tanya Ibu cemas.

“Hanan gak papa, Bu. Kayanya cuma kecapean aja, osis lagi sibuk soalnya.”

“Jangan capek-capek, ya. Kalau udah gak kuat istirahat, jangan dipaksa. Obatnya jangan sampai telat diminum.”

Hanan tersenyum menanggapi ucapan sang Ibu, “iya, Ibu. Lagian bentar lagi pengurus osis juga udah ganti, Bu. Hanan, 'kan udah tahun terakhir SMA.”

“Hari ini kamu Ibu anterin aja, ya. Jangan bawa motor sendiri, Ibu gak tenang kalau kamu kaya gini,”

“Hm, okedeh.”

•••••

Haidan memasuki kelas dengan muka sangarnya. Wajahnya ia sembunyikan dibalik tudung hodienya. Ia masih kesal dengan sang Ayah yang tadi pagi menamparnya hanya karena semalam ia kembali pulang larut dan mencium bau rokok di tubuhnya. Bukankah itu hal biasa, lagipula Anton sudah tahu jika Haidan merokok. Tapi kenapa tadi malam ia sampai tega menamparnya.

Haidan melempar tas ranselnya ke atas meja dengan kasar, ia menenggelamkan wajah kusutnya di atas lipatan tangannya. Ia bahkan baru bisa tertidur pukul empat pagi tadi, sekarang ia mengantuk dan memutuskan untuk memejamkan matanya sejenak sebelum guru masuk ke dalam kelas.

Namun, baru sekitar lima menit ia memejamkan matanya, sayup-sayup ia mendengar percakapan antara dua orang yang merupakan teman sekelasnya. Ia mengintip dari balik tangannya yang terlipat, rupanya mereka adalah Hanan dan Juna yang sedang berbincang dibangku mereka.

Awalnya ia tak menghiraukan apa yang mereka bicarakan, namun raut cemas di wajah Juna seketika membuat dirinya juga ikut khawatir, akhirnya dengan hati-hati ia berusaha mendengar apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan.

“Kita ke UKS aja, Nan. Ayo!”

“Gak usah, Jun. Gue masih kuat, beneran deh.”

“Batu banget sih lo jadi anak, nanti kalau lo pingsan gimana, siapa yang mau gotong lo,”

Lost | Jeno Haechan✓Where stories live. Discover now