Tiga belas

3.4K 398 18
                                    

Haidan ikut memejamkan matanya di samping Hanan yang masih tertidur. Padahal jam sudah menunjukan pukul lima sore, yang artinya Hanan sudah tertidur selama tiga jam lamanya.
Haidan bersyukur, karena sebelum ia tertidur, ia melihat napas Hanan yang sudah teratur.

Pukul setengah enam sore, Ibu pulang. Ibu terkejut melihat kedua putranya yang tengah tertidur di sofa ruang tengah rumah mereka. Hanan tidur dengan posisi seperti biasa, sedangkan Haidan tidur dengan posisi duduk di samping Hanan, dengan tangan yabg menyilang di depan dadanya.

Ibu heran melihatnya, pasalnya sejak kapan Haidan pulang. Kenapa ia sama sekali tidak memberinya kabar, tapi disatu sisi ia lega melihat anaknya baik-baik saja. Ibu mendekat dan mencoba membangunkan Haidan. Posisi tidur Haidan sungguh tidak nyaman.

“Haidan bangun, Nak?” Ibu menggoyangkan bahu Haidan pelan, membuat sang empunya menggeliat.

“Ibu,”

“Kalian kenapa pada tidur disini, hm?” tanya Ibu, sekarang ia beralih kepada Hanan, mencoba membangunkan Hanan juga.

“Abang bangun, udah mau maghrib.”

“Bu, jangan dibangunin. Tadi Abang sa—

“Ibu.” lirih Hanan.

Ucapan Haidan terpotong karena Hanan yang ternyata sudah membuka matanya dan sedang berusaha untuk bangun.

“Abang sakit, ya?” Ibu meraba semua bagian tubuh Hanan dan menatap mereka berdua secara bergantian, bermaksud untuk meminta penjelasan.

“Iya, tadi Hanan sempat kambuh gara-gara lupa minum obatnya.” ucap Haidan cepat, pasalnya, jika tidak pasti Hanan akan berbohong agar Ibu tidak khawatir.

Hanan mendengus sebal.

“Kok bisa sampai lupa sih, Bang. Sekarang masih sakit gak, kita kerumah sakit, ya?”

“Hanan udah gak papa, Bu. Tadi Hanan lupa gak bawa obat k esekolah, makanya telat dikit minum obatnya.”

“Jangan gitu lagi ya, Nak. Gimana kalau kamu kambuh pas gak ada orang di rumah, terus kenapa tadi gak hubungin Ibu?”

“Hanan beneran gak papa, Bu. Aku masih bisa kontrol sakitnya.” Hanan tersenyum manis kepada sang Ibu agar wanita itu tidak lagi khawatir padanya.

“Haidan juga, kamu kemana aja semalam. Katanya pergi dari rumah Ayah, tapi gak pulang kesini juga, Ibu hubungin kenapa gak bisa?”

“Maafin Haidan, Bu. Haidan nginep di rumah temen, Hp Haidan mati.”

Ibu hanya menggelengkan kepalanya, ada-ada saja dengan kedua anak itu. “Ya sudah, Ibu mau ke kamar dulu, abis itu mau bikin makan malam buat kalian.”

Kedua anak itu hanya mengangguk, membiarkan sang Ibu naik keatas.

“Lo beneran udah gak papa?” tanya Haidan.

Hanan menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan.

“Gak papa.”

“Nan, kenapa lo gak operasi lagi aja biar sembuh.” tanya Haidan hati-hati.

Hanan tekekeh mendengar pertanyaan Haidan, “apanya yang mau dioperasi, Dan. Gue itu udah gak bisa sembuh, satu-satunya cara ya cuma transplantasi jantung. Itu juga belum tentu berhasil,”

“Lagian nyari donor jantung gak gampang, Dan. Butuh waktu lama buat dapet donor jantunf yang cocok.”

Haidan meringis mendengar jawaban Hanan, ia merasa bersalah. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana seumur hidup Hanan ditemani dengan rasa sakit yang selalu menghantuinya setiap saat.

Lost | Jeno Haechan✓Where stories live. Discover now