Lima

4.6K 508 25
                                    

Pagi ini suasana di rumah Hanan sedikit heboh. Rika menangis histeris ketika mendapati Hanan tak sadarkan diri dengan wajah yang sudah sangat pucat. Kamar Hanan sangat berantakan, terutama tempat tidurnya. Bantal-bantal sudah berjatuhan di lantai, tu pasti karena Hanan yang merasa kesakitan sendirian.

Dengan tangan yang bergetar, Rika memanggil supir untuk membantu mengangkat Hanan kedalam mobil, ia harus segera membawa Hanan ke rumah sakit. Rika semakin histeris ketika mendapati denyut nadi Hanan yang sangat lemah, dan juga mata Hanan yang tak kunjung terbuka.

Sekarang di sinilah Rika berada, duduk sembari menangis sendirian di depan ruang ICU. Tak lupa ia berdo'a kepada Tuhan agar tak membawa anaknya pergi. Ini bukan pertama kalinya Hanan kambuh seperti ini, namun tetap saja rasa takut itu selalu datang ketika melihat mata Hanan terpejam.

“Ibu mohon bertahan ya, Nak. Maafin Ibu,” racau sang Ibu yang masih terisak.

•••••

Haidan mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru kelas. Matanya tak henti mencari sosok yang ia cari dari pagi itu belum juga muncul. Tidak biasanya ia berangkat terlambat.  Hingga bel masuk berbunyi pun bangkunya masih saja kosong, ia khawatir. Perasaannya tak tenang, ia takut jika sesuatu terjadi kepadanya. Saat bel istirahat berbunyi, Haidan menghampiri Juna, teman sebangku Hanan, orang yang sedari tadi ia cari.

“Jun?” panggil Hanan.

Juna yang sedang asik berkutat dengan buku catatannya itu menoleh, “kenapa?”

“Hanan kenapa gak masuk?” tanya Haidan pelan. Haidan berani bertanya kepada Juna karena ia tahu, Juna adalah orang yang mengetahui semua tentang Hanan.

“Lo gak tahu? Hanan masuk rumah sakit tadi pagi, dia collapse.

“HAH?!!”

“Kenapa lo gak bilang daritadi?” tanya Haidan panik.

“Bukannya kemarin pas dia sakit juga lo yang nolongin, harusnya lo—

Ucapan Juna terpotong karena Haidan langsung berlari mengambil tasnya dan berjalan keluar kelas. Juna hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Haidan.

“Dan, mau kemana lo?” teriak Yudis yang baru saja kembali dari kantin.

Haidan tak menghiraukan teriakan Yudis ataupun umpatan-umpatan yang dilontarkan beberapa siswa yang dengan tidak sengaja ia tabrak ketika ia berlari. Bahkan, sampai gerbang sekolah pun ia masih tidak peduli dengan ocehan satpam sekolah yang berjaga di depan, yang ia pikiran sekarang hanyalah menyusul Hanan di rumah sakit.

Haidan mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi hingga beberapa kali ia terkena klakson dari pengguna jalan lainnya. Ketika sampai disana, Haidan segera berlari kedalam rumah sakit, menanyakan dimana keberadaan Hanan saat ini kepada beberapa suster yang ia temui.

Ia kembali berlari setelah diberitahu jika Hanan masih berada di dalam ruang ICU. Kakinya perlahan berhenti berlari ketika ia mendapati sosok wanita yang tengah duduk bersandar di depan sana. Wanita yang selama ini ia hindari namun begitu ia rindukan. Sekarang ia bertemu dengannya dan berdiri di depan matanya.

“Ibu,” panggilnya begitu lirih namun masih terdengar oleh sosok yang ternyata adalah Rika—sang Ibu.

Rika yang kini matanya sembab itu menoleh, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat Haidan berdiri didepannya.

“Ya Allah, Haidan!” pekik Rika kaget, ia langsung beringsut memeluk Haidan erat, sedangkan Haidan masih terdiam. Ia masih berusaha mencerna semua yang terjadi secara tiba-tiba. Perlahan tangannya terulur membalas pelukan sang Ibu yang sangat ia rindukan.

Lost | Jeno Haechan✓Where stories live. Discover now