Tiga puluh empat

3.1K 424 11
                                    

“Nan, gue pusing.”

“Ya udah tidur aja. Masih tiga jam lagi.”

Hanan membenarkan letak selimut Haidan yang perlahan memejamkan matanya. Setelah insiden prank-nya kepada Nana kemarin, Haidan akhirnya mendapat wejangan dan juga bujukan yang panjang dari dokter Tama dan juga Ibu. Ia disarankan untuk segera melakukan cuci darah secepatnya, mengingat kondisinya yang semakin hari semakin menurun.

Karena tak nyaman dengan tubuhnya sendiri dan tak tega juga melihat Ibu yang hampir menangis, akhirnya Haidan menyetujui penawaran tersebut.

“Udah, Nan. Haidan gak papa,” Nana menepuk pundak Hanan pelan, anak itu masih saja terdiam sembari menatap sang kembaran yang sudah terlelap.

Hanan menoleh, “gak tega gue lihat dia yang biasanya petakilan, sekarang jadi kaya gini.”

“Kena karma Haidan tuh, kemarin aja dia ngerjain gue dengan pura-pura sakit, jadinya sakit beneran, 'kan?!” ujar Nana yang masih kesal jika mengingat bagaimana paniknya dia kemarin melihat Haidan tiba-tiba kesakitan, ternyata hanya prank semata.

“Kata dokter, Haidan emang harus menjalani cuci darah dari awal dia di diagnosa sakit, tapi ini anak bandel banget, sok kuat.” lanjut Nana.

“Lo tau sendirilah gimana dia, Na.”

“Sama kaya lo sih, Nan, sok kuat.” celetuk Nana.

“Kok gue?”

“Gue tau lo juga capek, Nan. Jangan maksain diri, daripada nanti lo ikutan sakit juga.”

“Gue emang udah sakit, Na.”

“Nah, makanya lo juga harus jaga diri jangan sampai ikutan drop.”

Nana gemas melihat sepasang saudara kembar yang sama-sama keras kepala dan juga gengsi untuk menunjukan bagaimana perasaan satu sama lain.

“Haidan tuh baik banget sebenernya, Nan.”

Ucapan Nana sukses membuat Hanan menoleh. Karena merasa penasaran, Hanan berjalan menghampiri Nana dan mendudukan dirinya di sebelah Nana.

“Lo inget gak waktu lo berdua ketemu di rumah sakit untuk pertama kalinya setelah pisah?”

Hanan mengangguk, ia tidak pernah lupa dengan moment itu, dimana saat Haidan menolak bertemu dengannya, anak itu bahkan tidak mau menganggap Hanan sebagai Abangnya lagi. Hanan sedikit tersenyum mengingat kejadian itu.

“Setelah dia ketemu lo, dia balik lagi ke kamar gue sambil nangis, dia bilang katanya di abis ketemu sama kembarannya, tapi dia nolak buat ketemu lo, bahkan dia ninggalin lo sendirian. Padahal dia tau kalau saat itu lo lagi sakit.”

“Dia bilang kalau sebenarnya dia pengin banget meluk lo, apalagi saat dia lihat wajah pucat lo. Tapi rasa kecewa dia ngalahin semuanya, Nan.”

“Haidan marah sama Ibu itu gara-gara gue, Na. Ibu udah janji buat jemput Haidan dan bawa dia balik lagi ke rumah, tapi Ibu gak pernah lakuin itu, dan Haidan kecewa sama Ibu. Ini semua gara-gara gue,”

“Ibu udah berkali-kali mencoba untuk membawa Haidan kembali, tapi kondisi tubuh gue yang emang lemah banget bikin Ibu gak bisa ninggalin gue gitu aja, waktu itu Ibu mau pergi buat nemuin Haidan, tapi tiba-tiba gue drop sampai masuk rumah sakit.”

“Hidup gue udah berkali-kali ada di ujung napas, Na. Tapi gue bertahan buat Haidan, gue pengin berjuang biar bisa ketemu lagi sama Haidan, gue pengin minta maaf sama dia. Sampai akhirnya pas SMA kita satu sekolah, bahkan satu kelas, gue pikir itu kesempatan buat gue bisa deket lagi sama dia, tapi ternyata semua itu gak mudah. Haidan bener-bener marah sama gue. Bahkan, mungkin dia benci sama gue,”

Lost | Jeno Haechan✓Where stories live. Discover now