Dua puluh

3.1K 411 39
                                    

Lo apain temen gue, hah?

Bangsat, lo yang udah buat dia celaka!

Ega mati bangsat, ini semua gara-gara lo!

Pembunuh!!

Haidan terududuk diatas tempat tidurnya, napasnya memburu tak beraturan, keringat dingin terlihat mengalir di wajahnya. Ia menunduk, mencengkram kedua sisi kepalanya dengan kuat.

Mimpi itu selalu datang menghantui Haidan, padahal ia tahu bukan dia pelakunya. Tapi tetap saja, bayang-bayang Ega yang menutup mata untuk selamanya tepat didepan matanya sendiri itu selalu terlintas diotaknya.

“Gue bukan pembunuh,” gumamnya pelan.

Dengan tangan bergetar, ia membuka nakas yang ada di samping tempat tidurnya. Mengambil tabung obat andalannya jika sedang seperti ini, ia mengamati obat tersebut dengan serius.

“Haruskah gue minum ini lagi?” tanyanya entah kepada siapa.

Ia teringat dengan janjinya kepada Hanan untuk tidak bergantung dengan obat tersebut, ia juga teringat dengan ucapan dokter yang menanganinya beberapa hari yang lalu, untuk tidak mengonsumsi obat-obat itu secara berlebihan karena perlahan obat tersebut telah merusak tubuhnya.

Persetan dengan kesehatannya, ia butuh obat itu sekarang. Haidan menelan obat itu tanpa adanya air, itu sudah biasa untuknya. Ia menghela napas pelan, berharap obat itu cepat bereaksi.

Haidan melirik jam di atas mejanya, pukul dua dini hari. Ia ingin kembali tidur, tapi ia takut jika mimpi itu akan datang lagi.

Setelah berpikir singkat, Haidan memutuskan untuk keluar kamar. Ia berjalan ke arah kamar Hanan yang ada di sebelah kamarnya, ia mencoba membuka pintu kamar itu dan ternyata tidak dikunci. Haidan masuk dengan pelan, memperhatikan wajah damai Hanan yang sedang tertidur sembari memeluk bantal gulingnya.

“Bang, gue tidur disini ya.” lirih Haidan pelan.

Ia beranjak naik keatas kasur dengan hati-hati, takut membangunkan sang kembaran, dan dengan perlahan ia memejamkan matanya, berharap ia bisa lebih tenang jika berada disisi Hanan.

•••••

Hari ini adalah hari sabtu, weekend telah tiba. Pagi ini Ibu sudah menyiapkan sarapan untuk kedua anaknya, namun sepertinya mereka belum ada yang bangun. Ibu beranjak naik ke lantai atas tempat dimana kamar sang anak berada. Pertama ia masuk ke kamar Haidan, anak itu agak susah dibangunkan, jadi harus ekstra sabar.

Ibu membuka pintu kamar Haidan dan sedikit terkejut mendapati kamar sang anak yang sudah kosong.

“Loh, Haidan kemana?” gumam Ibu pelan.

Akhirnya Ibu memutuskan untuk masuk ke kamar Hanan. Ibu lebih terkejut lagi melihat kedua anaknya tidur bersama, dan terlihat mereka berpelukan, lebih tepatnya mereka memeluk guling yang sama, guling itu berada di tengah dan dipeluk dari samping oleh mereka berdua.

Ibu tersenyum dan berjalan menghampiri kedua anaknya. “Aduh, ternyata anak Ibu tidur berdua. Pantesan Ibu cari-cari Haidan gak ada,”

Ibu membuka gorden jendela kamar Hanan lebar-lebar, cahaya matahari langsung masuk ke dalam kamar. Hal itu sontak membuat anak kembar itu menggeliat, merasakan silau yang masuk kedalam matanya.

“Ibu— HEH NGAPAIN LO DIKAMAR GUE?!” teriak Hanan ketika membuka mata dan melihat wajah Haidan tepat berada di depannya.

“Apa sih, Nan. Gak usah teriak-teriak, gue masih ngantuk!”

Haidan yang masih setengah sadar itu hanya bergumam pelan dan kembali memejamkan matanya.

“Sejak kapan lo tidur disini?”

Lost | Jeno Haechan✓Where stories live. Discover now